Entri Populer

Selasa, 22 Maret 2011

AL-MU`MINUN (Kaum Mu`minin)


AL-MU`MINUN (Kaum Mu`minin)

Surat ke-23 ini diturunkan di Mekah sebanyak 118 ayat.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyaang

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (QS. 23  al-Mu`minun:1)
Qad aflahal mu’minuna (sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman). Berbahagialah orang-orang yang membenarkan dan yang meraih keabadian di dalam surga. Tafsiran  ini ditunjukkan oleh keterangan bahwa tatkala Allah menciptakan surga ‘Adn dengan tangan-Nya, Dia berfirman, “Berkatalah!” Maka surga berkata, “Sesungguhnya berbahagialah orang-orang yang beriman.” Allah berfirman, “Beruntunglah kamu karena menjadi hunian para penguasa.” Para penguasa surga ialah kaum miskin yang bersabar. Al-falah berarti keberhasilan dalam mencapai tujuan dan keselamatan dari sesutu yang tidak disukai.

Yaitu  orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya (QS. 23 al-Mu`minun: 2)
Alladzina hum fi shalatihim khasyi’una (yaitu  orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya). Khusyu ialah takut dan menghinakan diri. Makna ayat: Mereka takut kepada Allah dan menghinakan diri kepada-Nya. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. Melihat orang yang sedang shalat sambil mempermainkan janggutnya, maka beliau bersabda,
Jika qalbu orang ini khusyu, niscaya khusyu pula seluruh anggota badannya. (HR. al-Hakim).
Dalam Hadits lain ditegaskan,
Jika seorang hamba berdiri hendak melakukan shalat, sebenarnya dia berdiri di depan ar-Rahman. Jika dia melirik, Allah bertanya, “Siapa yang kamu lirik? Apakah kepada orang yang lebih baik dari pada Aku? Hai manusia, menghadaplah kepada-Ku, karena Aku lebih baik daripada orang  yang kamu lirik”. (HR. Tirmidzi)
            Dalam at-Ta`wilatun Najmiyyatu dikatakan: Orang-orang yang khusyu secara lahir dan batin. Secara lahir berarti kepala khusyu dengan menunduk, mata khusyu dengan tidak melirik, telinga khusyu dengan memusatkannya pada penyimakan, lisan khusyu pada bacaan, kehadiran hati, dan ketenangan, kedua tangan khusyu dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri disertai pengagungan seperti yang dilakukan hamba, punggung khusyu  dengan membungkuk rata, kedua kaki khusyu dengan keteguhan di atas tempat berdiri tanpa gerakan. Secara batin berarti nafsu khusyu dari bisikan dan betik pikiran, khusyu qalbu dengan kehadiran dan kesadaran secara berkesinambungan, dan khusyu ruh dengan tenggelamnya diri di dalam lautan mahabbah.  

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari  yang tiada berguna (QS. 23 al-Mu`minun: 3)
Walladzina hum ‘anillaghwi (dan orang-orang,  dari  yang tiada berguna), yakni dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna bagi mereka. Dalam al-Mufradat dikatakan: Perkataan yang disebut laghwun ialah yang tidak berguna, yaitu yang tidak bersumber dari suatu riwayat atau dari pikiran. Segala sesuatu yang melalaikanmu dari Allah disebut laghwun.
Mu’ridlun (mereka berpaling), yakni memalingkan tubuhnya. Pada umumnya mereka memalingkan diri dari perkara yang tidak berguna sebagaimana makna ini ditunjukkan oleh bentuk kata mu’ridlun yang menunjukkan kontinuitas. Yang menjadi alasan utama keberpalingan mereka ialah kondisi yang menuntutnya supaya berpaling, bukan hanya karena keseriusannya dalam mengerjakan persoalan agama.

Dan orang-orang yang menunaikan zakat (QS. 23 al-Mu`minun: 4)
Walladzina hum lizzakati fa’iluna (dan orang-orang yang menunaikan zakat). Yakni mereka menunaikan sedekah. Zakat diwajibkan guna menyucikan diri dari sifat-sifat tercela yang kotor seperti cinta dunia dan sebagainya sebagaimana ditegaskan Allah Ta’ala,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (at-Taubah: 103).
Sesungguhnya kebahagiaan itu terletaak pada kesucian jiwa. Allah berfirman,
Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan sesunguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya (as-Syams: 9-10).
Zakat adalah untuk kepentingan pelenyapan cinta dunia dari qalbu. Cinta dunia mencerminkan seluruh sifat tercela. 

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (QS. 23 al-Mu`minun: 5)
Walladzina hum lifurujihim (dan orang-orang, terhadap  kemaluannya). Al-farju berarti celah di aantara dua perkara, seperti celah di antara dinding. Kemudian kata ini dijadikan kiasan untuk kemaluan. Karena baanyak digunakan untuk makna kiasan, maka jadilah ia seperti bukan kiasan.
Hafidzuna (mereka memelihara), yakni menahannya dari yang diharamkan, tidak mengumbarnya, dan tidak menyerahkannya.
 
Kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. 23 al-Mu`minun: 6)
Illa ‘ala azwajihim (kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka). Ditafsirkan demikian, karena zauj berarti pasangan sehingga dapat saja ia berupa suami atau istri.
Au ma malakat aymanuhum (atau budak yang mereka miliki), yakni budak perempuan. Meskipun malakat aymanuhum bermakna umum sehingga mencakup budak laki-laki, namun para ulama sepakat bahwa maknanya adalah budak perempuan.
Fainnahum ghairu malumin (maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela) karena tidak memelihara kemaluannya dari budak perempuan.

Barangsiapa mencari  yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. 23 al-Mu`minun: 7)
Famanibtagha wara`a dzallika (barangsiapa mencari yang di balik itu), yakni di balik batasan yang luas itu berupa empat wanita merdeka dan budak perempun sesuai dengan kehendaknya …
Fa`ula`ika humul ‘adun  (maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas), yakni yang sempurna permusuhannya dan yang melampaui batas kehalalan ke keharaman. Ayat ini dijadikan dalil oleh madzhab Maliki  dalam mengharamkan istimna (onani atau masturbasi), sebab Allah memberi bimbingan bahwa apabila tidak mampu menikah, maka hendaknya dia shaum yang dapat meredam syahwat.
Dalam catatan pinggir Sahih Bukhari ditegaskan bahwa istimna dengan tangan adalah diharamkan oleh Kitab dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya… maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, yakni orang yang zalim dan melintas dri yang halal kepada yang haram.
Al-Baghawi berkata: Ayat di atas menunjukkan bahwa istimna dengan tangan adalah haram.
‘Atha berkata: Aku mendengar bahwa ada suatu kaum yang dibangkitkan, sedang tangan-tangan mereka hamil. Aku mengira merekalah yang suka melakukan istimna. Pelakunya dihukum ta’zir. Memang Abu Hanifah dan Ahmad membolehkan hal itu tatkala seseorang mengkhawatirkan dirinya terjerumus ke dalam fitnah. Abu Hanifah berkata: Cukuplah untuk menyelamatkan kepala dengan kepala.

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya (QS. 23 al-Mu`minun: 8)
Walladzina hum li`amanatihim wa’ahdihim (dan orang-orang, terhadap amanat-amanat dan janjinya), yakni terhadap apa yang diamanatkan kepadanya dan atas kebenaran yang mereka janjikan kepada al-Khaliq maupun kepada makhluk. Amanah adalah istilah bagi sesuatu yang dipercayakan kepada manusi. Al-‘ahdu berarti memelihara sesuatu dan menjaganya dari waktu ke waktu.
Ra’una (mereka menjaga), yakni mereka melaksanakan dan memeliharanya dengan tujuan kemaslahatan.

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (QS. 23 al-Mu`minun: 9)
Walladzinahum ‘ala shalawatihim (dan orang-orang, terhadap shalatnya), yakni atas shalat yang difardlukan kepada mereka.
Yuhafizhuna (mereka menjaga), yakni senantiasa mendirikannya dengan memelihara aneka syarat, adab-adabnya, dan pelaksanaannya tepat waktu.

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (QS. 23 al-Mu`minun: 10)
Ula`ika humul waritsuna (mereka itulah), yakni Krum Mu`minin yang disifati dengan aneka sifat yang mulia tersebut.
Humul waritsuna (adalah orang-orang yang akan mewarisi), yakni yang paling berhak disebut pewaris, bukan yang selain mereka. Waratsah berarti beralihnya harta kepadamu dari pihak lain.

Yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS. 23 al-Mu`minun: 11)
Al-ladzina yaritsunal firdausa (yang akan mewarisi surga Firdaus). Penggalan ini menjelaskan pewarisan yang semula masih disamarkan, guna mementingkan dan meninggikan kedudukannya.
Hum fiha (Mereka  di dalamnya), yakni di dalam firdaus. Firdaus adalah kebun yang menghimpun aneka jenis buah-buahan. Diriwayatkan bahwa Allah mendirikan surga firdaus dari bata emas dan bata perak, sedang di sela-selanya terbuat dari kesturi asli. Di sana ditanami buah-buahan yang terbaik dan terharum.
            Khalidun (mereka kekal), yakni mereka takkan pernah keluar dan mati.
            Dalam Tafsirul Fatihah karya Maula al-Fanari rahimahullah ditegaskan: Ketahuilah bahwa surga ada tiga macam.
Pertama, surga pemberian Allah secara khusus. Surga ini dihuni oleh anak-anak yang belum balig dan orang yang hiduppada masa kevakuman sedang dakwah Islam tidak sampai kepada mereka.
            Kedua, surga warisan yang dihuni oleh setiap orang yang memasuki surga, termasuk penghuni surga jenis pertama dan Kaum Mu`minin. Semula, surga ini disiapkan bagi orang-orang yang menjadi penghuni neraka, jika mereka masuk surga.
             Ketiga, surga amal yang dihuni manusia berdasarkan amalnya. Orang yang amalnya lebih baik daripada yang lain, maka surganya pun lebih banyak. Dalam Hadits sahih ditegaskan bahwa Nabi saw. bersabda kepada Bilal,
            “Hai Bilal, mengapa engkau dapat mendahuluiku masuk surga? Tidaklah aku melangkah ke suatu tempat melainkan aku mendengar tarikan nafasmu di depanku?” Bilal menjawab, “Ya Rasulullah, tidaklah aku berhadats melainkan aku segera berwudhu dan tidaklah aku berwudhu melainkan aku pun shalat.” Nabi saw. bersabda, “Karena kedua hal itulah kamu mendahului aku” (HR. Tirmidzi)
            Maka kami tahu bahwa surga itu diraih karena melakukan amal tersebut.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati  dari tanah. (QS. 23 al-Mu`minun: 12)
Walaqad khalaqnal insana (dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia), yakni demi Allah, sesungguhnya Kami telah menciptakan jenis manusia.
Min sulalatin (dari suatu saripati). Sullas syai` minas syai` berarti mencabut sesuatu dari hal lain seperti mencabut pedang dari sarungnya. Sulalah berarti nama sesuatu yang diambil dan dikeluarkan dari sesuatu yang lain. Makna ayat: dari saripati yang diambil dari yang kotor.
Min thinin (dari tanah). Yakni, Kami menciptakannya dari sari pati yang dikeluarkan dari tanah.

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani  dalam tempat yang kokoh. (QS. 23 al-Mu`minun: 13)
Tsumma ja’alnahu (kemudian Kami jadikan saripati itu), yakni Kami menjadikan satuan-satuan dari setiap jenis saripati itu.
Nuthfatan (air mani), yakni Kami menciptakan nuthfah dari saripati itu. Nuthfah berarti air bening laki-laki.
Fi qararin  (dalam tempat) menetap, yaitu rahim.
Makinin (yang kokoh), yakni terpelihara.

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang  lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. 23 al-Mu`minun:14)
Tsumma khalaqnan nuthfata ‘alaqatan (kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah) dengan cara menguraikan nuthfah yang putih menjadi segumpal darah merah. Ar-Raghib berkata: Al-‘laq berarti darah yang membeku. Dari pengertian ini muncul kata ‘alaqah yang merupakan cikal bakal anak.
Fakhalaqnal ‘alaqata mudlghatan (lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging). Mudlghah berarti sepotong daging yang disuapkan untuk dikunyah. Makna ayat: Lalu Kami menjadikannya sebagai sepotong daging yang bentuknya tidak jelas dan tidak dapat dibedakan.
Fakhalaqnal mudlghata (dan segumpal daging itu Kami jadikan), yakni sebagian besar daging itu Kami jadikan …
‘Izhaman (tulang belulang) dengan cara mengeraskannya dan menjadikannya sebagai pilar tubuh dalam bentuk dan posisi tertentu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya.
Fakasaunal ‘izhama lahman (lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging) yang merupakan sisa dari pembentukan tulang. Makna ayat: Kami membungkus tulang-tulang tersebut dengan daging yang sesuai, baik kadar maupun sifatnya, seperti urat, sendi, otot, dan daging.
Tsumma ansya`nahu (kemudian Kami jadikan dia). Al-insya` berarti mengadakan sesuatu dan mengembankannya. Pada umumnya kata ini dikenakan kepada binatang.
Khalqan akhara (makhluk yang  lain) dengan meniupkan kepadanya. Allah menciptakan manusia melalui berbagai fase, mulai dari nuthfah yang unsur-unsurnya mirip, kemudian dari berbagai bahan yang susunan dan derajatnya berbeda-beda, seperti daging, tulang, darah, kulit, rambut dan sebagainya. Kemudian masing-masing bagian ini memiliki struktur yang mengagumkan dan fungsi tertentu seperti pendengaran, penglihatan, perabaan, gerakan kaki, perasaan, penciuman, dan sebagainya. Bagian-bagian tersebut memperlihatkan kesempurnaan kekuasaan Tuhan dengan sangat jelas. 
Fatabarakallahu  (maka Maha Sucilah Allah), yakni Mahatinggi urusan-Nya.
Ahsanul khaliqina (Pencipta Yang Paling Baik), yakni sebaik-baik pencipta makhluk yang dirancang dan dibentuk rupanya, sebab seorang pencipta rupa biasanya membentuk penampilan dan postur dalam sosok makhluk. Namun, penciptaan itu tidak mencapai batas penciptaan al-Khaliq, sebab dia tidak mampu memberinya nyawa.

Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS. 23 al-Mu`minun: 15)
Tsumma innakum ba’da dzalika  (kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian), yakni setelah  mengalami hal-hal yang menakjubkan itu.
Lamayyituna (benar-benar akan mati), yakni kalian pasti menuju kematian.

Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan  di hari kiamat (QS. 23 al-Mu`minun: 16)
Tsumma innakum yaumal qiyamati (kemudian, sesungguhnya kamu sekalian, di hari kiamat), yaitu pada saat tiupan sangkakala kedua.
Tub’atsuna (akan dibangkitkan), yakni dikeluarkan dari kubur untuk menghadapi perhitungan amal dan pembalasan dengan pahala atau siksa. 

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan. Dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan. (QS. 23 al-Mu`minun: 17)
Walaqad khalaqna fauqakum sab’a thara`iqa (dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan). Yang dimaksud dengan tujuh jalan  ialah tujuh petala langit. Dikatakan demikian karena lapisan yang satu berada di atas lapisan yang lain.
Wama kunna ‘anil khalqi (dan Kami tidak,  terhadap ciptaan), terhadap makhluk tersebut berupa langit.
            Ghafilin (lalai), tidak mengabaikan urusannya, tetapi Kami memeliharanya dari kerusakan dan kesirnaan; Kami mengatur urusannya selaras dengan kehendak Kami.
Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkan. (QS. 23 al-Mu`minun: 18)
Wa anzalna minassama`I ma`an (dan kami turunkan air dari langit), yakni Kami menurunkan hujan.
Biqadarin (menurut suatu ukuran), sehingga dengan ukuran itu makhluk selamat dari bahaya serta meraih aneka manfaat.
Fa`askannahu fil ardli wa inna ‘ala dzahabin bihi  (lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami, untuk menghilangkannya) dengan  menciptakan polusi atau meresapkan air, sehingga kalian mati berikut semua binatang ternak milik kalian.
Laqadiruna (benar-benar berkuasa) sebagaimana Kami berkuasa dalam menurunkannya.

Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan (QS. 23 al-Mu`minun: 19)
Fa`ansya`na lakum bihi (lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu), yakni dengan sarana air itu.
Jannatin min nakhilin (kebun-kebun kurma) yang sudah dikenal.
Wa a’nabin (dan anggur). Pohonnya disebut ‘inab, sedangkan buahnya disebut kurmun.
Lakum fiha fawakihu katsiratun (di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak) untuk nyamikan kamu.
Waminha (dan sebahagian dari buah-buahan itu) dan tanamannya yang diperoleh dari keun.
Ta`kuluna (kamu makan) sebagai makanan tambahan dan untuk penghidupan seperti buah pala, kemiri, pistachio, hazel, pisang, kurma, zaitun, aprikot, plum, delima, pear, quince, tin, dan anggur. Semuanya merupakan buah-buahan surga.

Dan pohon kayu ke luar dari Thursina, yang tumbuh menghasilkan minyak, dan  makanan bagi orang-orang yang makan. (QS. 23 al-Mu`minun: 20)
Wasyajaratan (dan pohon kayu), yakni pohon zaitun.
Takhruju min thuri saina`a (keluar dari Thursina), yaitu sebuah gunung yang terletak antara al-Qads dan Mesir. Dari gunung itulah Musa dipanggil. Ia juga diseut gunung Thursinin yang berarti gunung yang bagus.
Tanbutu bidduhni (yang tumbuh menghasilkan minyak), yakni ia tumbuh dengan mengandung atau memiliki minyak.
Wa shibghin lil`akilina  (dan  makanan bagi orang-orang yang makan), yakni sebagai campuran bagi makanan. Pohon itu tumbuh dengan membawa dua manfaat sekaligus, yaitu minyak dan bahan yang dicampurkan ke adonan roti. Zaitun ini dapat dijadikan kuah untuk roti atau sebagai campuran seperti halnya samin dan cuka.

Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan (QS. 23 al-Mu`minun: 21)
Wa `inna lakum fil an’amila’ibratan (dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu), yakni tanda kebesaran Allah yang dapat kamu ambil pelajaran dari karakreistik binatang ternak, dan dapat kamu jadikan dalil yang menunjukkan betapa besarnya kekuasaan penciptanya dan betapa lembut hikmah-Nya.
Nusqikum mimma fi buthuniha (Kami memberi minum kamu dari apa yang ada dalam perutnya) berupa susu.
Walakum fiha manafi’u katsiratun (dan pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu) di samping manfaat berupa bulu dan kulit.
Waminha ta`kuluna (dan sebagian darinya kamu makan). Kamu memanfaatkan tubuhnya sebagaimana kamu memanfaatkan apa yang diperoleh dari tubuhnya.

Dan di atasnya dan di atas perahu-perahu kamu diangkut. (QS. 23 al-Mu`minun: 22)
Wa ‘alaiha (dan di atasnya), yakni pada punggung binatang-binatang ternak. Sebuah pendapat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan atasnya ialah punggung unta saja, sebab ia merupakan bahtera darat.
Wa ‘alal fulki tuhmaluna (dan di atas perahu-perahu kamu diangkut) sebab perahu merupakan tempat bagi apa pun yang ada di atasnya. Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan boleh naik perahu, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Namun, sebagian ulama memakruhkan bagi perempuan karena di sana biasanya sulit menutup aurat.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata,"Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?" (QS. 23 al-Mu`minun: 23)
Walaqad arsalna nuhan ila qaumihi (dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya). Huruf lam merupakan jawaban dari sumpah. Makna ayat: Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya.
Faqala (lalu ia berkata) guna menyeru mereka kepada ketauhidan.
Ya qaumi’budullaha (hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah) Yang Esa. Tafsiran demikian ditunjukkan oleh ayat selanjutnya.
Ma lakum min ilahin ghairuhu (sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain Dia), yakni tiada ilah yang maujud atau di alam semesta ini kecuali Allah.
Afala tattaquna (maka mengapa kamu tidak bertaqwa), yakni mengapa kamu tidak mengakui hal itu, lalu memelihara diri dari azab-Nya karena kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak layak ada.

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, "Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar  ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. (QS. 23 al-Mu`minun: 24)
Faqalal mala`u (maka pemuka-pemuka itu berkata), yakni kaum bangsawan dan orang-orang mulia di antara kaum Nuh.
Al-ladzina kafaru min qaumihi (orang yang kafir di antara kaumnya). Yakni, mereka berkata kepada rakyatnya guna menempatkan derajat mereka pada martabat yang tinggi, yang melampaui derajat kenabian.
Ma hadza illa basyarum mitslukum (orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu), yakni jenis dan sifat orang itu tidak ada bedanya dengan kamu.
Yuridu ayyatafadldlala ‘alaikum (dia bermaksud  menjadi seorang yang lebih tinggi daripada kamu), yakni dia hendak mengunggulimu dengan mengklaim sebagai rasul, padahal dia sama seperti kamu. Dalam Al-Jalalain ditafsirkan: dia ingin dianggap terpandang di hadapanmu, lalu dia menjadi lebih unggul daripada kamu, misalnya menjadi panutanmu.
Wala sya`allahu la`anzala mala`ikatan (dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat). Jika Allah berkehendak untuk mengutus seorang Rasul,niscaya Dia mengutus seorang rasul dari kalangan malaikat.
Ma sami’na bihadza (belum pernah kami mendengar  ini), mendengar tuturan semacam ini, yaitu perintah beribadah kepada Allah semata.
Fi aba`inal awwalina (pada masa nenek moyang kami yang dahulu), yang sudah meninggal,sebelum diutusnya Nuh.

Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah  dia sampai suatu waktu". (QS. 23 al-Mu`minun: 25)
In huwa illa rajulun bihi jinnatun (ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila), karena itu, dia berkata demikian. Gila berarti sesuatu yang menghalangi antara nafsu dan akal.
Fatarabbashu bihi (maka tunggulah dia), yakni bersabrlah dalam menghadapinya dan tunggulah.
Hatta hinin (sampai suatu waktu), yakni hingga dia sembuh dari penyakit gilanya.

Nuh berdo'a, "Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku". (QS. 23 al-Mu`minun: 26)
Qala (Nuh berdo'a) setelah dia putus asa atas keimanan kaumnya.
Rabbinshirni  (ya Tuhanku, tolonglah aku) untuk membinasakan mereka seluruhnya.
Bima kadzdzabuni (karena mereka mendustakan aku).

Lalu Kami wahyukan kepadanya, "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tannur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap jenis, dan  keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan  di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesunguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. 23 al-Mu`minun: 27)
Fa auhaina ilaihi (lalu Kami wahyukan kepadanya), yakni Kami beritahukan kepadanya secara rahasia. Ditafsirkan demikian karena iha` berarti memberitahukan secara sembunyi-sembunyi.
Anishna’il fulka bia’yunina (buatlah bahtera di bawah penilikan Kami), yakni dengan pengawasan Kami guna menjagamu dari kekeliruan tatkala membuatnya. Ungkapan Fulanun bi’aini berarti aku menjaga Fulan dan memperhatikannya.
Wawahyina (dan wahyu Kami), yakni dengan perintah dan pengajaran Kami mengenai cara membuatnya. Diriwayatkan bahwa Nuh menerima wahyu agar membuat bahtera dalam bentuk seperti dada burung.
Fa`idza ja`a aruna (maka apabila perintah Kami telah datang), yakni apabila perintah Kami untuk menazab telah dekat.
Wafarat tanuru (dan tannur telah memancarkan air). Al-fauru berarti bergolaknya air denan hebat, dan tanur berarti tungku untuk membuat roti.
Fasluk fiha min kulli zaujainis naini (maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap jenis) yang terdiri atas jantan dan betina.
Wa ahlaka (dan  keluargamu), yakni istri Nuh dan anak-anaknya.
Illa man sabaqa ‘alaihil qaulu minhum  (kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan  di antara mereka), yaitu ketetapan untuk membinasakan kaum kafir yang di antaranya adalah Kan’an, anak Nuh.
Wala tukhathibni filladzina zhalamu (dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim) melalui doa dan penyelematan mereka.
Innahum mughraquna (karena sesunguhnya mereka itu akan ditenggelamkan), yakni dihancurkan dengan ditengelamkan karena kezaliman mereka melalui kemusyrikan. Orang yang seperti itu tidak dapat ditolong.

Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah,"Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim". (QS. 23 al-Mu`minun: 28)
Fa`idzas tawaita anta wamam ma’aka (apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada), yakni setelah kamu dan keluargamu juga pengikutmu telah naik di atas bahtera.
‘Alal fulki faqulilhamdu lillahil ladzi najjana minal qaumizh zhalimina  (di atas bahtera itu, maka ucapkanlah,"Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim"). Menyebutkan Nuh secara tersendiri menunjukkan keutamaan dirinya dan untuk memberitahukan bahwa doa dan pujiannya merupakan suatu keharusan.

Dan berdo'alah, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat". (QS. 23 al-Mu`minun: 29)
Waqul rabbi anzilni (dan berdo'alah, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku) pada bahtera atau pada sebagiannya.
Munzalan mubarakan (pada tempat yang diberkati), yakni tempat yang membuahkan banyak kebaikan.
Wa anta khairul munzilina (dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat"). Maka Allah memenuhi permohonannya seperti ditegaskan, Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan sejahtera serta penuh dengan keberkatan dari Kami atasmu (Hud: 48). Allah memberkati mereka setelah turun dari bahtera, sehingga seluruh makhluk berasal dari keturunan Nuh dan para pengikutnya.

Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat beberapa tanda, dan sesungguhnya Kami menimpakan azab. (QS. 23 al-Mu`minun: 30)
Inna fi dzalika la`ayatin (sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat beberapa tanda), yakni pada apa yang dilakukan oleh Nuh dan apa perlakuannya terhadap kaumnya terdapat tanda kekuasaan yang agung, yang dapat disimpulkan oleh orang yang memiliki mata hati.
Wa`in kunna lamubtalina  (dan sesungguhnya Kami menimpakan azab), sesungguhnya Kami menguji hamba-hamba Kami dengan ayat tersebut agar Kami melihat siapa yang mengambil pelajaran dan nasihat.
Ketahuilah bahwa ujian itu bagaikan garam. Para nabi yang utama menjadi Ulul ‘Azmi adalah karena cobaan yang ditimpakan Allah kepada mereka, lalu mereka bersabar. Perhatikanlah Nuh, bagaimana dia diuji selama 950 tahun, tetapi dia bersabar hingga dikatakan kepadanya, maka ucapkanlah, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim".

Kemudian, Kami jadikan sesudah mereka umat yang lain. (QS. 23 al-Mu`minun: 31)
Tsumma ansya`na mimba’dihim (kemudian, Kami jadikan sesudah mereka), yakni, setelah kaum Nuh dibinasakan,  Kami mengadakan dan menjadikan…
Qarnan akharina (umat yang lain), yaitu kaum ‘Ad. Tafsiran ini didasarkan atas firman Allah yang mengisahkan Nabi Hud, Dan ingatlah ketika Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti setelah lenyapnya kaum Nuh (al-A’raf: 69). Al-qarnu berarti kaum yang hidup pada satu masa.

Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri,  "Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa  (QS. 23 al-Mu`minun: 32)
Fa`arsalna fihim rasulam minhum (lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri), yakni yang senasab dengan mereka, yaitu Nabi Hud.
Ani’budullaha (sembahlah Allah). Kami berfirman kepada mereka melalui rasul, “Beribadahlah kepada Allah semata, karena …
Malakum min ilahin ghairuhu afala tattaquna (sekali-kali tidak ada Ilah selain dari pada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa), yakni mengapa kamu menyekutukan Allah dengan hal lain dan tidak takut terhadap azab-Nya?

Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia, "Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum". (QS. 23 al-Mu`minun:33)
Waqalal mala`u min qaumihil ladzina kafaru (dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya), yakni pemuka kaumnya yang kafir. Mereka disifati dengan kafir untuk mencela.
Wa kadzdzabu biliqa`il akhirati (dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat), kembali ke alam akhirat, atau menjumpai hisab, pahala, dan siksa yang ada di akhirat.
Wa atrafnahum (dan yang telah Kami mewahkan mereka), yakni Kami telah memberi mereka kenikmatan dan melapangkan kehidupannya. Atrafathun ni’mah berarti kenikmatan telah membuatnya melampaui batas.
Fil hayatid dunya (dalam kehidupan di dunia) karena banyaknya kekayaan dan anak. Mereka berkata kepada keturunannya guna menyesatkannya…
Ma hadza (tidaklah orang ini), yakni Hud.
Illa basyarum mitslukum (kecuali manusia seperti kamu) dalam hal tuturan dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya.
Ya`kulu mimma ta`kuluna minhu wa yasyrabu mimma tasyrabuna (dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum). Penggalan ini untuk menegaskan kesamaan antara mereka dengan Hud.

Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 23 al-Mu`minun: 34)
Wala`in atha’tum basyaram mitslakum (dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu) yang perilaku dan sifatnya seperti telah dikemukakan. Makna ayat: Demi Allah, jika kamu mematuhi perintahnya…
Innakum idzal lakhsiruna (niscaya bila demikian, kamu benar-benar menjadi orang-orang yang merugi), yakni nalarmu keliru dan pandanganmu terkecoh sebab kamu telah menghinakan dirimu sendiri. Perhatikanlah bagaimana mereka menjadikan kepatuhan kepada rasul sebagai kerugian, tetapi tidak demikian halnya dengan menyembah berhala.

Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan  (QS. 23 al-Mu`minun: 35)
Aya’idukum idza mittum wakuntum turaban wa ‘izhaman  (apakah dia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang) yang lapuk, tanpa daging dan otot.
Annakum (sesungguhnya kamu). Penggalan ini menguatkan annakum idza mittum karena panjangnya pemisah antara subjek dan predikatnya berupa … 
Mukhrajuna (akan dikeluarkan) dari kubur dalam keadaan hidup sebagaimana sebelumnya.

Jauh, jauh sekali  apa yang diancamkan kepada kamu itu (QS. 23 al-Mu`minun: 36)
Haihata haihata lama tu’aduna (jauh, jauh sekali  apa yang diancamkan kepada kamu itu), yakni sanat tidak mungkin apa yang diancamkan itu. Huruf lam pada lima berfungsi menjelaskan kemustahilan. Tatkala mereka mengungkapkan pernyataan kemustahilan, seolah-olah ada yang bertanya, “Apa yang tidak mungkin?” Dijawab oleh mereka, “Apa yang diancamkan.”

Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi (QS. 23 al-Mu`minun: 37)
In hiya illa hayatunad dunya (kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini) yang singkat dan fana ini.
Namutu wa nahya (kita mati dan kita hidup), yakni ada yang mati dan ada pula yang lahir. Demikianlah seterusnya hingga habisnya masa. Setelah itu tidak ada kehidupan lagi.
Wama nahnu bimab’utsina (dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi) setelah mati seperti dikatakan oleh Hud. Perhatikanlah bagaimana hati mereka telah dibutakan hingga mereka tidak memahami bahwa menciptakan ulang lebih mudah daripada menciptakan untuk pertama kali, dan bahwa zat Yang berkuasa untuk mengadakan sesuatu dari tiada berarti berkuasa pula untuk mengembalikannya.

Ia tidak lain hanyalah seorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya". (QS. 23 al-Mu`minun: 38)
In huwa (tidaklah dia), yakni tidaklah Hud itu…
Illa rajulun iftara ‘alallahil kadziba (kecuali seorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah), yakni menciptakan kebohongan terhadap Allah melalui klaim bahwa dirinya sebagai rasul dan utusan.
Wama nahnu lahu bimu`minin (dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya), yakni tidak akan membenarkan apa yang dikatakannya.

Rasul itu berdo'a, "Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku". (QS. 23 al-Mu`minun:39)
Qala (dia berkata). Setelah Hud berputus asa dari keimanan kaumnya, dia berdoa.
Rabinshurni (Ya Tuhanku, tolonglah aku) untuk mengalahkan mereka dan menuntut balas.
Bima kadzdzabuni (karena mereka mendustakanku), yakni disebabkan mereka mendustakanku dan terus-menerus melakukannya.

Allah berfirman, "Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal". (QS. 23 al-Mu`minun: 40)
Qala (Allah berfirman), yakni Allah memenuhi doa Hud.
‘Amma qalilin (dalam sedikit waktu), yakni sebentar lagi.
Layushbihunna (pasti mereka akan menjadi), yakni kaum kafir yang mendustakan itu akan menjadi.
Nadimina (orang-orang yang menyesal) karena berbuat kafir dan mendustakan Hud. Penyesalan ini terjadi tatkala mereka melihat azab dengan nyata.

Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka  buih, maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu. (QS. 23 al-Mu`minun: 41)
Fa`akhadzat humush shaihatu (maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur), yaitu pekikan Jibril yang memekik mereka dengan pekikan yang mengerikan  hingga hati mereka pecah lalu mati. Shaihah berarti mengeraskan suara. Al-Jalalain menafsirkan: Pekikan azab menyiksa mereka.
Bilhaqqi (dengan hak), dengan cara yang pasti dan tidak dapat ditolak.
Faja’alnahum ghutsa`an (dan Kami jadikan mereka  buih), yakni seperti buih air bah yang tidak mengandung manfaat. Gutsa berarti buih, dedaunan, dan sampah yang dibawa oleh banjir di permukaan air bah.
Fabu’dal liqaumizh zhalimin (maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu). Pengalan ini dapat ditafsirkan sebagai pemberitahuan atau sebagai doa.

Kemudian Kami ciptakan sesudah mereka umat-umat yang lain. (QS. 23 al-Mu`minun: 42)
Tsumma ansya`na mimba’dihim (kemudian Kami ciptakan sesudah mereka), yakni setelah melenyapkan generasi ‘Ad tersebut.
Qurunan akharin (umat-umat yang lain), yaitu kaum Shalih, kaum Luth, kaum Syu’aib, dan sebaginya. Pembinasaan ini dimaksudkan agar setiap umat mengetahui bahwa Kami tidak memerlukan mereka, dan bahwa apabila mereka menerima seruan para nabi, maka manfaat dari kepatuhan mereka akan berpulang kepada dirinya.

Tidak  suatu umat pun mendahului ajalnya, dan tidak  pula mereka terlambat. (QS. 23 al-Mu`minun: 43)
Ma tasbiqu min ummatin ajalaha (tidak  suatu umat pun mendahului ajalnya), yakni tiada satu pun dari umat yang dibinasakan yang dapat mendahului batas waktu pembinasan yang telah ditetapkan bagi mereka.
Wama yasta`khiruna (dan tidak  pula mereka terlambat), yakni mereka tidak dapat mengundurkan batas waktu sekejap mata pun.

Kemudian Kami utus  rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka buah tutur, maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 23 al-Mu`minun: 44)
Tsumma arsalna rusulana tatra (kemudian Kami utus  rasul-rasul Kami berturut-turut), yakni datang silih berganti, yang satu digantikan oleh yang lain.
Kullama ja`a ummatan rasuluha (tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya), yakni dia datang kepada mereka dengan membawa berbagai keterangan dan untuk menyampaikan risalah.
Kadzdzabuhu (umat itu mendustakannya), yakni mereka menudingnya sebagai pendusta.
Fa`atba’na ba’dlahum ba’dlan  (maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain), yakni Kami membinasakan mereka setelah membinasakan umat yang lain.
Waja’alnahum (dan Kami jadikan mereka), setelah dibinasakan …
Ahaditsa (buah tutur) bagi umat sesudahnya. Makna ayat: Wujud dan jejak mereka tidak lagi tersisa kecuali sekedar kisahnya belaka yang dijadikan bahan obrolan dan keheranan. Ahadits merupakan jamak dari ahdutsah yang berarti sesuatu yang diobrolkan demi kesenangan dan kekaguman. Makna inilah yang dimaksud pada ayat ini.
Fabu’dal liqaumil la yu`minuna (maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman). Yakni, mereka jauh sekali. Maksudnya, mereka telah dibinasakan. Mereka disajikan dalam kata berbentuk nakirah karena generasi tersebut bersifat umum, sedangkan kata al-qaum yang sebelumnya ditujukan bagi umat tertentu sesudah mereka.

Kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa ayat-ayat Kami, dan bukti yang nyata. (QS. 23 al-Mu`minun: 45)
Tsumma arsalna musa wa akhahu haruna bi`ayatina (kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa ayat-ayat Kami), yaitu sembilan tanda keesaran Allah berupa tangan, tongkat, topan, belalang, kutu, katak, darah, kekurangan buah-buahan, dan tha’un.
Wasulthanim mubinin (dan bukti yang nyata), yakni hujjah yang jelas dan mengalahkan lawan, yaitu berupa tongkat. Tongkat disajikan secara khusus karena ia lebih utama dibandin mukjizat yang lain.

Kepada Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya, maka mereka ini takabur dan mereka adalah orang-orang yang sombong. (QS. 23 al-Mu`minun: 46)
Ila fir’auna wa mala`ihi (kepada Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya), yakni para pemuka kaum Kopti.
Fastakbaru (maka mereka ini takabur) sehingga tidak mau beriman dan mengikuti Musa.
Wakanu qauman ‘alina (dan mereka adalah orang-orang yang sombong), yakni congkak dan melampaui batas kecongkakan dan kezaliman. Mereka merupakan kaum yang biasa membangkang dan congkak.

Dan mereka berkata, "Apakah  kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita, padahal kaum mereka  adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?" (QS. 23 al-Mu`minun: 47)
Faqalu (dan mereka berkata) di antara sesama mereka dengan nada saling menasihati.
Anu`minu (apakah  kita percaya). Hamzah bermakna ingkar. Makna ayat: kami tidak percaya dan tidak selayaknya keimanan muncul dari kami.
Libasyaraini mitslana (kepada dua orang manusia seperti kita). Allah menyifati basyarain dengan mitsal karena bentuk tasniyah itu dianggap mashdar.
Waqaumuhuma (padahal kaum mereka berdua), yakni bani Israil.
Lana ‘aiduna (adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita), yakni yang patuh kepada kita bagaikan budak sahaya. Pernyataan ini dimaksudkan untuk merendahkan martabat kerasulan Musa dan Harun yan tinggi.

Maka mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan. (QS. 23 al-Mu`minun: 48)
Fakadzdzabuhuma (maka mereka mendustakan keduanya), yakni mereka terus-menerus mendustakan Musa dan Harun.
Fakanu minal muhlakina (karena itu mereka  termasuk orang-orang yang dibinasakan) dengan ditenggelamkan di laut Qalzum.

Dan sesunguhnya telah Kami berikan Al-Kitab  kepada Musa, agar mereka   mendapat petunjuk. (QS. 23 al-Mu`minun: 49)
Walaqad ataina Musa  (sesunguhnya telah Kami berikan  kepada Musa), setelah Kami membinasakan Fir’aun dan kaumnya serta menyelamatkan Bani Isra`il.
Al-kitaba (kitab), yakni taurat.
La’allahum yahtaduna (agar mereka   mendapat petunjuk), yakni agar Bani Israil memperoleh petunjuk ke jalan kebenaran dengan mengamalkan syari’at serta hukum yang terdapat dalam Taurat.

Dan telah Kami jadikan  putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata, dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir. (QS. 23 al-Mu`minun: 50)
Waja’alnabna maryama (dan telah Kami jadikan  putera Maryam), yaitu Isa.
Wa ummahu ayatan (beserta ibunya suatu bukti yang nyata), yang menunjukkan kepada besarnya kekuasaan Kami karena dia lahir dari Maryam yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki.
Dalam al-‘Uyun dikatakan: Kami menjadikan keduanya tanda sebagai pelajaran bagi Bani israil yang hidup setelah Musa, sebab Isa dapat berbicara ketika masih dalam buaian, dapat menghidupkan orang yang mata, dan dia dilahirkan dari Maryam yang tak pernah disentuh laki-laki. Inilah dua tanda kebesaran yang pasti. Mu’jizat Isa yang lain tidak disebutkan di sini karena menganggap cukup dengan menyebutkan salah satunya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. shalat subuh di Mekah dengan membaca surat al-Mu`minun. Ketika sampai pada ayat yang menceritakan Isa dan ibunya, maka air matanya terus menitik sehingga beliau tak sanggup melanjutkannya. Maka beliau pun ruku.
 Wa awainahuma ila rabwatin (dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar), yakni Kami menempatkan keduanya di tanah tinggi yang Kami jadikan sebagai tempat tinggal dan menetap bagi keduanya. Tanah tersebut adalah Elia, bagian dari wilayah Baitul Maqdis, sebab ia merupakan dataran tinggi.
Imam as-Suhaili berkata: Maryam membawa Isa yang masih bayi ke salah satu desa di Damaskus, yang bernama Nazaret. Karena nama inilah, maka pengikut agamanya disebut Nashrani dan nama mereka juga diambil dari nama desa ini.
Dzati qararin (yang banyak terdapat padang-padang rumput), yakni wilayah yang memiliki banyak pohon buah dan tanaman, sehingga orang-orang tinggal di tempat demikian karena kekayaannya. Ar-Raghib berkata: Qarra fil makani berarti menetap untuk selamanya.
 Wama’inin (dan sumber-sumber air bersih yang mengalir), yakni mata air yang jernih dan mengalir di permukaan bumi. Air yang mengalir disebut ma’inin karena tampak terlihat dengan jelas oleh mata (‘ain).

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23 al-Mu`minun:51)
Ya ayyuhar rusulu kulu minaththayyibati (hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik). Sapaan ini ditujukan kepada semua rasul dan tidak disampaikan kepada mereka sekaligus, sebab mereka diutus pada zaman yang berbeda-beda. Artinya, setiap rasul disapa demikian pada masa kerasulannya. Makna ayat: Kami berfirman kepada setiap rasul, “Makanlah makanan yan baik-baik dan kerjakanlah amal saleh.”
Wa’malu shalihan (dan kerjakanlah amal yang saleh), karena amal itulah fokus kalian dan itulah yang bermanfaat di sisi Tuhanmu. Penggalan ini membantah kaum sesat yang mengatakan bahwa apabila seorang hamba telah mencapai puncak mahabbah dan kesucian qalbu, maka dia tidak perlu melakukan aneka amal saleh dan ibadah-ibadah lahiriah lainnya, sebab ibadahnya berupa tafakur. Pandangan demikian benar-benar kafir dan sesat, sebab manusia yang paling sempurna mahabbah dan keimanannya adalah para rasul, terutama kekasih Allah (Rasulullah).
Inni bima ta’maluna (sesungguhnya Aku, terhadap apa yang kamu kerjakan) berupa aneka amal lahiriah dan batiniah …
‘Alimun (Maha Mengetahui), lalu Aku membalasnya.
 Ayat di atas menunjukkan kesalahan pandangan para biarawan yang menolak makanan yang baik-baik. Menurut ar-Raghib, asal makna thayyib ialah sesuatu yang dianggap lezat oleh pancaindra dan nafsu. Menurut syari’at, makanan yang baik ialah apa yang diperoleh dengan cara dan dari tempat yang dibolehkan oleh syari’at. Maka seperti itu disebut thayyib. Dalam Hadits ditegaskan,
Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik.
Isa a.s. makan dari upah ibunya menenun, sedang Nabi saw. memperolehnya dari ghanimah. Itulah makanan yang terbaik. Imam al-Ghazali rahimahullah berkata: Tidaklah berdosa menerima hadiah dan sedekah dari seseorang  yang lahiriahnya baik. Anda tidak perlu menelusuri asal-usulnya, karena Anda berdalih bahwa zaman telah rusak. Praktik demikian merupakan buruk sangka kepada seorang Muslim, sebaliknya kita diperintah untuk berbaik sangka kepada Kaum Muslimin.
Abu al-Faraj al-Jauzi berkata: Menceritakan hal ihwal dunia yang dibolehkan dapat menimbulkan kegelapan di hati. Bagaimana dengan melakukan usaha yang haram? Jika kesturi dapat mengubah air, dilarang berwudhu dengan air itu. Bagaimana jika berwudhu denan air yang dijilat anjing? Karena itu seorang ulama besar berkata: Barangsiapa yang melampaui batas dalam perkara yang mubah, maka dia takkan meraih lezatnya bermunajat.

Sesungguhnya  ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. (QS. 23 al-Mu`minun: 52)
Wa`inna hadzihi (sesungguhnya  ini), yakni agama Islam dan tauhid.
Ummatukum (adalah agama kamu semua) dan syari’atmu, wahai para rasul.
Ummatan wahidatan (agama yang satu), yakni syari’at yang berpangkal pada satu pokok yang tidak berubah karena perbedaan zaman. Adapun perbedaan dalam masalah furu’ tidak dapat dikatakan sebagai perbedaan agama, sebab wanita yang haidh dan suci pun agamanya sama, walaupun ketentuan hukum bagi keduanya pada saat itu  berbeda.
Wa ana rabbukum (dan Aku adalah Tuhanmu) tanpa ada satu pun yang menyertai ketuhanan-Ku.
Fattaquni (maka bertaqwalah kepada-Ku), yakni takutlah untuk menyalahi firman-Nya. Dlamir pada penggalan ini merujuk kepada seluruh rasul dan seluruh umatnya, sebab perintah kepada rasul bertujuan untuk mengobarkan dan menyemangati, sedangkan bagi umat bertujuan untuk mewanti-wanti dan mewajibkan.
Dalam Tafsirul Kabir ditegaskan: Ayat di atas menunjukkan bahwa agama semua rasul adalah satu dalam hal yang menyangkut pengetahuan tentang Allah dan pemeliharaan diri dari mendurhakai-Nya.

Kemudian mereka  menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka. (QS. 23 al-Mu`minun: 53)
Fataqaththa’u amrahum bainahum (kemudian mereka  menjadikan agama mereka terpecah belah), yakni mereka menjadikan persoalan agamanya tercabik-cabik menjadi beberapa bagian dan beerapa agama.
Zuburan (menjadi beberapa pecahan), yakni beberapa sekte. Zubur jamak dari zabuur yang berarti sekte.
Kullu hizbin (tiap-tiap golongan), yakni setiap kelompok yang memisahkan diri dalam satu sekte itu.
Bima ladaihim (dengan  apa yang ada pada sisi mereka), yakni dengan agama yang mereka pilih itu.
            Farihuna (mereka bangga), kagum, dan yakin bahwa agama merekalah yang benar.

Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS. 23 al-Mu`minun: 54)
Fadzarhum fi ghamratihim (maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya). Keodohan yang mereka aruni diserupakan dengan air yang menenggelamkan dan meliputi sekujur tubuhnya. Makna ayat: Biarkanlah kaum kafir yang terpecah belah itu di dalam keadaannya, dan hatimu jangan berduka oleh keadaan mereka.
Hatta hinin (sampai suatu waktu), sampai mereka mati atau sampai datangnya azab. Ayat ini mengancam mereka dengan azab dunia dan akhirat, sekaligus menghibur Rasulullah saw., melarang beliau untuk meminta agar azab mereka disegerakan, dan melarang berkeluh-kesah jika azab itu ditangguhkan.

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu   (QS. 23 al-Mu`minun: 55)
Ayahsabuna annama numidduhum bihi (apakah mereka mengira bahwa  apa yang Kami berikan kepada mereka itu). Hamzah berfungsi mengingkari dan memandang buruk atas peristiwa yang terjadi. Makna ayat: apakah kaum kafir menduga bahwa yang Kami berikan kepada mereka itu dan yang Kami jadikan sebagai pertolongan bagi mereka…
Min maliw wabanina (berupa harta kekayaan dan anak). Keduanya disebutkan secara khusus karena manusia sangat membanggakannya.

Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka. Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (QS. 23 al-Mu`minun: 56)
Nusari’u lahum fil khairati (Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka), yakni pada sesuatu yang mengandung kebaikan dan kemuliaan.
Bal la yasy’uruna (tidak, sebenarnya mereka tidak sadar). Sekali-kali tidak. Kami tidak melakukan hal itu, tetapi karena mereka tidak memahaminya sedikit pun. Mereka bagaikan binatang yang tidak memiliki nalar dan perasaan yang berfungsi untuk memikirkan dan memahami bahwa pemberian harta dan anak itu merupakan istidraj (menyeret seseorang kepada keburukan tanpa disadari) dan supaya dengan harta dan anak itu semakin bertambahlah dosa mereka. Namun, mereka mengira bahwa hal itu merupakan kebaikan yang disegerakan Allah untuk mereka. Dalam Khabar ditegaskan,
Apakah hamba-Ku senang jika Aku melapangkan kehidupannya di dunia, padahal sebenarnya Aku menjauhkannya dari-Ku? Apakah hamba-Ku yang Mu`min berkeluh-kesah jika Aku menyempitkan dunia darinya, padahal Aku mendekatkannya dari-Ku?

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan  Tuhan mereka. (QS. 23 al-Mu`minun: 57)
Innalladzina hum min khasyyati rabbihim musyfiquna (sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan  Tuhan mereka), yakni karena takut terhadap azab-Nya, mereka berhati-hati. Khasyyah berarti rasa takut yang bercampur takzim. Al-Hasan berkata: Seorang Mu`min mengintegrasikan kebaikan dan kekhawatiran, sedangkan orang kafir mengintegrasikan keburukan dan rasa aman.

Dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Tuhan mereka (QS. 23 al-Mu`minun: 58)
Walladzina hum bi`ayati rabbihim (dan orang-orang, terhadap ayat-ayat Tuhan mereka) yang terpampang di cakrawala dan yang diturunkan.
Yu`minuna (beriman), yakni membenarkannya dengan perkataan dan perbuatan, tidak mendustakannya.

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka   (QS. 23 al-Mu`minun: 59)
Walladzina hum birabbihim la yusyrikuna (dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka), baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Ditafsirkan demikian, karena keimanan (ayat 58) dipertentangkan dengan kemusyrikan (ayat 59).
Al-Junaid berkata: Barangsiapa yang menelaah isi hatinya, lalu di sana dia menemuka sesuatu yang lebih agung daripada Rabb-nya atau lebih mulia daripada Dia, berarti dia telah menyekutukan-Nya atau dia telah menciptakan tandingan bagi-Nya.

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (QS. 23 al-Mu`minun: 60)
Walladzina yu`tuna ma atau (dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan), yakni mereka memberikan zakat, sedekah, kebaikan, dan kebajikan. Pemakaian bentuk mudhari’ untuk menunjukkan kontinuitas perbuatan mereka.
Waquluuhum wajilatun (sedang  hati mereka takut), yakni hati mereka sangat takut.
Annahum ila rabbihim raji’una (sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka), yakni mereka takut sebab akan dikembalikan kepada Allah. Mereka berinfak, sedang hatinya dipenuhi kekhawatiran seandainya infaknya tidak diterima atau tidak sesuai dengan cara yang semestinya. Jadi, kekhawatiran mereka bukan hanya karena akan dikembalikan kepada Allah.

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. 23 al-Mu`minun:61)
Ula`ika (mereka itu), yakni orang-orang yang disifati dengan sifat yang agung.
Yusari’una fil khairati (bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan) yang di antaranya adalah kebaikan duniawi yang dijanjikan karena melakukan aneka amal saleh.
Wahum laha sabiquna (dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya) sebelum meraih kebaikan ukhrawi karena kebaikan itu disegerakan di dunia. Bersegera dalam melakukan kebaikan membuahkan derajat sebagai pemenang.

Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (QS. 23 al-Mu`minun: 62)
Wala nukallifu nafsan illa wus’aha (Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya), yakni sesuai dengan kemampuannya. Muqatil erkata: Barangsiapa yang tidak mampu shalat sambil berdiri, maka shalalah sambil duduk. Barangsiapa yang tidak mampu  duduk, maka gunakanlah isyarat.
Al-Hariri berkata: Allah tidak membebani hamba untuk mengetahui zat-Nya sesuai dengan kapasitas-Nya, tetapi membebaninya sesuai dengan kapasitas hamba itu sendiri. Jika Dia membebaninya sesuai dengan kapasitas-Nya, niscaya mereka tidak akan mengetahui Dia, sebab tiada yang mengetahui zat-Nya yang hakiki kecuali Dia sendiri. 
Waladaina kitabun (dan pada sisi Kami ada suatu kitab), yakni catatan amal yang mendokumentasikan segala perbuatan masing-masing individu.
Yanthiqu bilhaqqi (yang membicarakan kebenaran), yakni dengan jujur. Pada kitab itu tidak ada sesuatu yang berlainan dengan kenyataan. Kitab itu memaparkan dan menjelaskan kebenaran bagi orang yang melihatnya sebagaimana seseorang menjelaskan sesuatu dengan tuturan.
Wahum la yuzhlamuna (dan mereka tidak dianiaya) dalam masalah balasan, misalnya dengan mengurangi pahala dan menambah siksa.

Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari  hal ini, dan mereka banyak mengerjakan perbuatan-perbuatan  selain dari itu, mereka tetap mengerjakannya. (QS. 23 al-Mu`minun: 63)
Bal qulubuhum fi hamratin min hadza (tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari  hal ini), tetapi hati kaum kafir terselubung di dalam kelalaian terhadap apa yang dijelaskan oleh al-Qur`an ini.
Walahum a’malun (dan mereka banyak mengerjakan perbuatan) buruk yang banyak.
Min duni dzalika (selain dari itu), selain keurukan yang telah diceritakan, yaitu aneka jenis kekafiran dan kemaksiatan yang di antaranya ialah celaan mereka terhadap al-Qur`an.
Hum laha ‘amiluna (mereka tetap mengerjakannya), yakni membiasakan diri dalam mengerjakannya.

Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. (QS. 23 al-Mu`minun: 64)
Hatta idza akhadzna mutrafihim (hingga apabila Kami timpakan kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka). Yakni, mereka senantiasa melakukan aneka pekerjaannya hingga tatkala Kami menyiksa mereka yang bergelimang nikmat dan para pemukanya.
Bil’adzabi (dengan azab) ukhrawi, sebab azab inilah yang akan mengagetkan mereka disertai jeritan meminta tolong.
Idza hum yaj`aruna (serta merta mereka memekik minta tolong), yakni mereka sontak sambil memekik meminta tolong dengan suara melengking dan berendah diri meminta keselamatan.

Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami. (QS. 23 al-Mu`minun: 65)
La taj`arul yauma (janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini). Maka dikatakan kepada mereka, “Janganlah…” Yaum, yaitu hari kiamat, disebutkan secara khusus guna menimbulkan ketakutan dan memberitahukan bahwa itu bukan saatnya meminta tolong.
Innakum minna tunsharuna (sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami), yakni tiada prtolongan dari pihak Kami yang akan menyelamatkanmu dari apa yang membinasakanmu.

Sesungguhnya ayat-ayat-Ku  selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, (QS. 23 al-Mu`minun: 66)
Qad kanat ayati tutla ‘alaikum (sesungguhnya ayat-ayat-Ku  selalu dibacakan kepada kamu sekalian) di dunia supaya kamu memetik manfaat dari padanya.
Fakuntum ‘ala a’qabikum tankishuna (maka kamu selalu berpaling ke belakang), yakni kamu berpaling dengan sengit karena tidak mau menyimak ayat itu.

Dengan menyombongkan diri terhadap al-Qur'an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya did waktu kamu bercakap-cakap did malam hari. (QS. 23 al-Mu`minun: 67)
Mustakbirina bihi (dengan menyombongkan diri terhadapnya), yakni kamu mendustakan Kitab-Ku.
Samiran (dalam percakapan di malam hari). Mereka biasa berkumpul malam hari di sekitar Ka’bah sambil mengobrolkan al-Qur`an, mencelanya, dan menyebutnya sebagai sihir dan puisi.
Tahjuruna (kamu mengucapkan perkataan-perkataan keji) tentang urusan al-Qur`an. Penggalan ini mencela orang yang mengobrol selain tentang ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Al-Qurthubi berkata: Para ulama sepakat ihwal dimakruhkannya mengobrolkan selain ketaatan, sebab shalat lima waktu telah menghapus aneka kesalahan manusia, sehingga dia dapat tidur dengan bersih dan malaikat hafazhah telah memungkas catatannya dengan ibadah. Jika setelah itu dia mengobrol, berarti dia telah berbuat lalai yang berarti dia memungkas catatan amalnya dengan perbuatan sia-sia dan kebatilan.
Al-Faqih Abu Laits berkata: Obrolan ada tiga macam.
Pertama, obrolan dalam rangka mengkaji ilmu. Obrolan demikian lebih baik daripada tidur, sebab ia terkait dengan  kebaikan dan kemaslahatan manusia.
Kedua, obrolan tentang dongeng kaum terdahulu, guyonan, dan olok-olok. Obrolan demikian adalah makruh.
Ketiga, obrolan untuk meningkatkan keakraban, menghindari dusta, dan perkataan batil. Obrolan demikian tidak apa-apa, tetapi tidak melakukannya adalah lebih baik karena adanya larangan mengobrol. Jika tetap melakukannya, hendaklah diakhiri dengan tasbih dan istigfar supaya dia pulang ke rumah dengan kebaikan. Apabila Nabi saw. bangkit  dari majlis, beliau berdoa,
“Mahasuci Engkau, ya Allah, Kami memuji-Mu. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Aku memohon ampunan-Mu dan bertobat kepada-Mu.”   Inilah doa yang diajarkan jibril kepadaku.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan, atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? (QS. 23 al-Mu`minun: 68)
Afalam yaddabrul qaula (apakah mereka tidak memperhatikan perkataan), yakni mengapa kaum kafir melakukan kecongkakan dan penghujatan seperti itu, dan mereka tidak merenungkan al-Qur`an guna mengetahui isinya seperti kemukjizatan susunannya, berita tentang perkara gaib, dan bahwa ia merupakan kebenaran dari Rabb-nya, lalu mereka mengimaninya alih-alih melakukan aneka hujatan terhadapnya?
Am ja`ahum ma lam ya`ti aba`ahumul awwalin  (atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu), yakni, ataukah mereka telah menerima kitab yang tidak diberikan kepada nenek moyangnya yang terdahulu, sehingga mereka merasa asing terhadap al-Qur`an, lalu terjerumus di dalam kekafiran dan kesesatan?

Ataukah mereka tidak mengenal rasul mereka, karena itu mereka memungkirinya? (QS. 23 al-Mu`minun: 69)
Am lam ya’rifu rasulahum (ataukah mereka tidak mengenal rasul mereka), yakni, ataukah  mereka belum pernah mengenal Rasulullah saw. sebagai seorang yang jujur, terpercaya, dan berakhlak mulia?
Fahum lahu munkirun (karena itu mereka memungkirinya), yakni tidak mengetahui kenabiannya, sehingga ketidaktahuan mereka akan kondisi beliau menyebabkan keingkaran mereka terhadapnya.

Atau  mereka berkata, "Padanya  ada penyakit gila". Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran. (QS. 23 al-Mu`minun: 70)
Am yaquluna bihi jinnatun (atau  mereka berkata, "Padanya  ada penyakit gila"). Allah beralih kepada celaan mereka lainnya. Makna ayat: Ataukah mereka mengatakan bahwa dia gila, padahal beliau merupakan manusia yang paling sehat akalnya, paling cerdas nalarnya, dan paling dalam pertimbangannya?
Bal ja`ahum bilhaqqi (sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka). Yakni, persoalannya bukanlah seperti yang mereka katakan ihwal  al-Qur`an, justru Rasulullah telah datang dengan membawa kebenaran yang kokoh, yang tidak mengandung kemiringan dan kebatilan dalam aspek apa pun.
Wa aktsaruhum lilhaqqi (dan kebanyakan mereka, terhadap kepada kebenaran), dilihat dari segi ia sebagai kebenaran. Yakni, terhadap  kebenaran yang mana saja, bukan hanya terhadap  kebenaran yang ini.
Karihuna (mereka benci) sebab mereka  memiliki karakter sesat dan menyimpang. Pemakaian kata kebanyakan mereka tidak menegasikan kebencian mereka terhadap kebenaran yang nyata ini, karena pada umumnya kaum setiap nabi adalah ingkar, sebagaimana firman Allah,
Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka sebagian besar dari orang-orang yang dahulu (ash-Shafat: 71).
Yang minoritas ialah mereka yang memiliki kesiapan diri untuk menjadi mutiara yang indah lagi baik. Adapun yang mayoritas ialah mereka yang memiliki kesiapan diri untuk menjadi batu yang hina dan tumbuhan yang kering. Inilah perilaku mayoritas makhluk. Berbeda dengan orang yang menjaga kehormatan dan kesucian diri. Maka suatu beban membuatnya semakin mulia. Dalam Hadits ditegaskan,
Rabbmu heran terhadap kaum yang diseret ke surga dengn rantai (HR. Bukhari).

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. 23 al-Mu`minun: 71)
Walawittaba’al haqqu (andaikata kebenaran itu menuruti), yakni  keberan al-Qur`an yang mereka benci.
Ahwa`ahum (hawanafsu mereka), yakni mengikuti selera, misalnya al-Qur`an itu sesuai dengan kehendak mereka. 
Lafasadatis samawatu wal alrdlu waman fihinna (pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya), termasuk malaikat, jin, dan manusia; niscaya keduanya melenceng dari keselarasan dan kemaslahatan secara total.
Bal atainahum idzikrihim (sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaannya). Pada ayat ini terjadi peralihan dari mencela mereka karena membenci kebenaran kepada mencela mereka karena berpaling dari al-Qur`an yang menandung kebanggaan dan kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Penalan ini seperti firman Allah, Sesungguhnya ia merupakan keanggan bagimu dan bagi kaummu, yakni merupakan kemuliaan bagimu dan kaummu. Makna ayat: Namun, Kami memberi mereka kebanggaan dan kemuliaan yang semestinya mereka terima dengan sepenuh hati.
Fahum ‘an dzikrihim (tetapi mereka,  dari kebanggaan itu), yakni dari apa yang dapat membuat mereka maslahat di dunia dan mulia di akhirat.
            Mu’ridluna (berpaling) kepada  selain al-Qur`an, yang semestinya mereka tidak menghadapinya dan tidak mementingkannya.

Atau kamu meminta upah kepada mereka, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rizki Yang Paling Baik. (QS. 23 al-Mu`minun: 72)
Am tas`aluhum (atau kamu meminta). Allah mencela mereka dari segi lain. Seolah-olah dikatakan: Ataukah mereka mengira bahwa kamu meminta, karena menyampaikan risalah …
Kharjan (upah), dan karena itu pula mereka tidak mau beriman kepadamu.
Fakharaju rabbika khairun (maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik), janganlah meminta upah kepada mereka, sebab rizki Rabb-mu di dunia dan pahala-Nya di akhirat adalah lebih baik bagimu daripada upah, sebab rizki itu lebih banyak dan abadi. Al-kharju berarti segala sesuatu yang kamu keluarkan untuk orang lain.
Wahuwa khairur raziqina (dan Dia adalah Pemberi  rizki Yang Paling Baik), yakni sebaik-baik pemberi imbalan, seba apa yang diberikannya tidak pernah terhenti dan tidak ternoda.

Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus. (QS. 23 al-Mu`minun: 73)
Wa`innaka latad’uhum ila shirathim mustqimin (dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus), yakni akal yan sehat dapat membuktikan kelurusan Nabi saw. dan keajegannya.

Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar menyimpang dari jalan  (QS. 23 al-Mu`minun: 74)
Wa `innalladzina la yu`minuna bil akhirati (dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat). Mereka disifati demikian untuk semakin memperburuk sebab  mereka mengatakan bahwa tiada kehidupan kecuali kehidupan dunia ini.
‘Anish shirathi (dari jalan) yang lurus yang kamu serukan kepada mereka.
Lanakibuna (benar-benar menyimpang) dan beralih dari jalan itu, sebab keimanan kepada akhirat merupakan motivasi yang paling kuat untuk mencari kebenaran.
            Dikisahkan bahwa setelah Harun Arrasyid selesai berhaji, dia tingal di Kufah selama beberapa hari. Tatkala dia hendak meninggalkan Kufah, Bahlul Si Gila mencegatnyadi tengah jalandan memanggilnya tiga kali dengan suara lantang, “Hai Harun.”
Dengan terkejut Harun bertanya, “Siapa yang memanggilku?”
Pengawalnya memberi tahu bahwa orang itu adalah Bahlul Si Gila.
Harun berhenti dan menyuruh supaya tirai kendaraannya  disingkapkan. Dia biasa berbicara dengan khalayak dari balik tirai. Harun bertanya, “Apakah kamu mengenalku?”
            “Ya, aku mengenalmu.”
            “Kalau begitu, siapakah aku ini?” tanya Harun.
            Bahlul menjawab, “Engkau adalah orang yang apabila ada seseorang yang dizalimi di belahan timur, sedang engkau berada di barat, maka Allah akan meminta pertanggungan jawabmu tentang halitu pada hari kiamat.”
            Harun menangis karena tersentuh oleh perkataan Bahlul. “Bagaimana menurutmu tentang keadaanku?”
            “Cerminkanlah dirimu kepada Kitab Allah. Dia berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yan penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka enar-benar berada dalam neraka (al-Infithar: -14).
Harun bertanya, “Bagaimana dengan amal kami?”
Bahlul berkata,  “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang-orang yang bertaqwa” (al-Ma`idah: 27).
“Bagaimana dengan hubungan kekerabatan kami dengan Rasulullah?”
Bahlul berkata, “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya (al-Mu`minun: 101).
“Bagaimana dengan syafaat Rasulullah saw. atas kami?” tanya Harun.
Bahlul berkata, “Pada hari itu tidak berguna syafaat kecuali syafaat orang yang Allah Yang Mahan Pemurah telah memberi izin kepadanya (Thaha: 109).
Harun bertanya, “Apakah kamu ada keperluan?”
“Benar,” jawab Bahlul, “Kiranya engkau dapat mengampuni dosaku dan memasukkanku ke dalam surga.”
“Itu di luar kekuasaanku. Tapi maksudku ialah bahwa aku mendengar kamu punya utang, maka aku akan membayarnya untukmu.”
Bahlul berkata, “Utang tidak dapat dibayar dengan utang. Serahkanlah harta manusia kepada mereka.”
Harun berkata, “Bolehkah aku mengirimumu santunan hingga kamu mati?”
Bahlul menjawab, “Kita berdua adalah hamba-hamba Allah. Apakah menurutmu Dia hanya ingat kepadamu dan melupakan aku?”
Harun dapat menerima nasihatnya, lalu dia melanjutkan perjalannnya.

Andaikata  Kami mengasihani mereka, dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka alami, benar-benar mereka akan terus menerus terombang-ambing dalam keterlaluan mereka. (QS. 2 al-Mu`minun 3: 75)
Walau rahimnahum (andaikata Kami mengasihani mereka). Diriwayatkan bahwa tatkala Tsummah bin Atsal al-Hanafi masuk Islam, lalu bergabung dengan Bani al-Yamamah, maka Tsumamah memblokade rombongan dagang yang hendak menuju Mekah. Maka Allah menimpakan kekurangan pangan kepada penduduk Mekah hingga mereka menyantap ‘alhaz, yaitu makanan yang terbuat dari kotoran unta yang dicampur dengan darah. Karena itu, Abu Sufyan menemui Rasulullah saw. di Madinah. Dia berkata, “Aku memohon kepadamu atas nama Allah dan melalui kehormatan hubungan keluarga dan kekerabatan. Bukankah kamu telah mengatakan bahwa dirimu diutus sebagai rahmat bagi semesta alam?”
“Benar” jawab beliau.
Abu Sufyan berkata, “Kamu telah membunuh para orang tua dengan pedang, lalu membunuh anak-anaknya dengan kelaparan. Maka berdoalah kepada Allah kiranya Dia melenyapkan kekurangan pangan dari kami.”
Maka Nabi saw. berdoa. Allah pun melenyapkan penderitaan mereka, lalu turunlah  ayat berikut.
Wkasyafna ma bihim min dlurrin (dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka alami) berupa keadaan yang buruk, yaitu kekurangan pangan dan kemarau yang menimpa dan melanda mereka.
Lalajju (benar-benar mereka akan terus menerus). Al-lujaj berarti sikap ngotot dalam pertikaian dan ingkar. Yakni, mereka akan tetap bercokol …
Fi thughyanihim (dalam keterlaluan mereka), yakni dalam sikap melampaui batas pada kekafiran, kecongkakan, dan dalam memusuhi Rasulullah serta Kaum Mu`minin.
Ya’mahuna (mereka terombang-aming). Al-‘amah berarti maju-mundur dalam suatu persoalan karena bingung. Yakni, meeka maju mundur di antara petunjuk dan kesesatan serta tidak tahu ke mana mereka harus menuju, bagaikan orang tersesat jalan di padang sahara. Dia tidak memiliki pandangan dan gagasan mengenai jalan yang mesti ditempuh.
Al-Wasithi berkata: Ilmu mengandung kesesatan jika dijadikan kesombongan, harta mengandung kesesatan jika pemiliknya bakhil, amal dan ibadah mengandung kesesatan jika pelakunya riya dan sum’ah, dan nafsu mengandung kesesatan jika keinginannya diperurutkan.

Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan  tidak memohon dengan merendahkan diri. (QS. 23:76)
Walaqad akhadznahum bil’adzabi (dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka), yakni demi Allah, Kami telah menyiksa penduduk Mekah dengan azab duniawi, yaitu jatuhnya korban dan tawanan pada Peristiwa Badar.
Famastakanu lirabbihim wama yatadlarra’una (maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan  tidak memohon dengan merendahkan diri). Maka pada diri mereka tidak ada kerendahan dan ketawadhuan kepada Rabb-nya, bahkan mereka terus-menerus congkak dan sombong.

Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada azab yang amat sangat   berat,  mereka menjadi putus-asa. (QS. 23 al-Mu`minun:77)
Hatta idza fatahna ‘alaihim baban dza ‘adzabin syadidin (hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada azab yang amat sangat  berat), yaitu azab akhirat.
Idza hum fihi mublisuna (tiba-tiba mereka menjadi putus asa), gamang dan putus asa dari segala kebaikan. Makna ayat: Kami telah menguji mereka dengan segala ujian seperti pembunuhan, penawanan, dan kelaparan. Namun, tidak tampak pada mereka tanda-tanda ketundukan kepada kebenaran dan keinginan untuk masuk Islam.
Abu Yazid al-Busthami berkata, “Aku melecut diri di dalam ibadah selama tiga tahun. Suatu kali aku bermimpi melihat seseorang berkata kepadaku, “Hai Abu Yazid, gudang  penyimpanan-Nya penuh dengan ibadah penghuni langit dan bumi. Jika kamu ingin sampai kepada-Nya, kamu harus menghinakan diri dan menunjukkan kebutuhan yang kuat kepada-Nya.” Dari situ aku sadar bahwa azab takkan terhenti kecuali dengan mencurahkan penghambaan kepada  Allah Ta’ala.
Kami memohon kepada Allah Ta’ala kiranya Dia menyingkapkan pekatnya nafsu dari diri kami dan menerangi kami dengan cahaya kejinakan dan kesucian.

Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. 23 al-Mu`minun:78)
Wahuwalladzi ansya`a lakum (dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu), yakni bagi kepentinganmu.
As-sam’a (pendengaran), yaitu daya pada telinga yang berfungsi untuk menangkap suara.
Wal-abshara (dan penglihatan), yakni organ tubuh untuk melihat atau daya yang terdapat pada mata.
Wal`af`idata (dan hati), yaitu qalbu. Ketiga organ ini disebutkan secara khusus karena aneka manfaat sangat tergantung pada ketiganya.
Qalilam ma tasykuruna (amat sedikitlah kamu bersyukur) atas aneka nikmat yang besar itu. Dikatakan sedikit, karena inti syukur ialah menggunakan anggota badan tersebut selaras dengan tujuan penciptaannya. Ayat di atas mengisyaratkan tiga makna berikut.
Pertama, melalui aneka nikmat yang besar itu Allah memperlihatkan anugrah-Nya yang besar, yaitu pendenaran, penglihatan, dan hati.
Kedua, meminta hamba agar mensyukuri ketiga nikmat terseut.
Ketiga, pengaduan dari Allah ihwal minimnya orang yang bersyukur sebagaimana firman-Nya, Sedikit sekali di antara hamba-Ku yan bersyukur.
            Mensyukuri nikmat tersebut ialah menggunakannya untuk menaati Pemberi nikmat dan menyembah-Nya. Mensyukuri pendenaran berarti menjaganya dari perkara yang dilarang untuk didengarkan dan agar tidak menyimak kecuali dengan pertolongan Allah dan tentang Allah. Mensyukuri penglihatan ialah menjaganya agar tidak melihat hal-hal yang diharamkan dan hendaknya melihat karena Allah untuk mengambil pelajaran atas pertolongan Allah. Mensyukuri qalbu berarti membersihkannya dari noda akhlak tercela dan memutuskan keterkaitannya dengan dunia dan akhirat, sehingga qalu hanya menyaksikan Allah dan hanya mencintai-Nya.

Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. (QS. 23 al-Mu`minun:79)
Wahuwalladzi dzara`akum fil ardli (dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi ini), yakni yang telah menciptakan dan menyebarkan kamu di bumi dengan melahirkan keturunan.
Wa ilaihi (dan kepada-Nyalah), bukan kepada selain-Nya.
Tuhsyaruna (kamu akan dihimpunkan) pada hari kiamat setelah sebelumnya kamu tercerai-berai. Jadi, mengapa kamu tidak beriman dan bersyukur kepada-Nya?

Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang mempertukarkan malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. 23 al-Mu`minun: 80)
Wahuwalladzi yuhyi wa yumitu (dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan) tanpa dibantu oleh siapa pun dalam melakukannya. Di sini tidak dikatakan ahya wa amata, tidak seperti ansya`akum wa dzara`akum pada ayat sebelumnya, guna menunjukkan bahwa menghidupkan dan mematikan merupakan kebiasaan-Nya.
Walahukhtilaful laili wannahari (dan Dialah yang mempertukarkan malam dan siang), yakni Dia-lah yang menimbulkan pengaruh pada terjadinya pergantian  malam dan siang serta perbedaan waktunya dengan lebih lama atau lebih singkat.
Afala ta’qiluna (maka apakah kamu tidak memahaminya), yakni mengapa kamu lalai terhadap ayat-ayat tersebut, sehingga kamu tidak memahami, melalui perenungan dan penalaran, bahwa semua itu dari Kami?

Sebenarnya mereka mengucapkan perkataan yang serupa dengan perkataan yang diucapkan oleh orang-orang dahulu kala. (QS. 23 al-Mu`minun: 81)
Bal qalu (sebenarnya mereka mengucapkan), yakni kaum kafir Mekah mengatakan.
Mitsla ma qalal awwaluna (perkataan yang serupa dengan perkataan yang diucapkan oleh orang-orang dahulu kala), yakni seperti yang dikatakan oleh kaum kafir sebelumnya.

Mereka berkata, "Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan? (QS. 23 al-Mu`minun: 82)
Qalu a`idza mitna wa kunna turaban wa ‘izhaman a`inna lamab’utsuna (mereka berkata, "Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan?) Mereka menganggap mustahil dan tidak merenungkan bahwa sebelumnya mereka pun merupakan tanah, lalu mereka diciptakan.

Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman  ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala!". (QS. 23 al-Mu`minun: 83)
Laqad wu’idna nahnu wa `aba`una hadza (sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman  ini) tentang ba’ats.
Min qablu (dahulu), yakni selum ada Muhammad, nenek moyang kami  diancam, tetapi mereka tidak memandang ancaman ini sebagai kebenaran.
In hadza illa asathirul awwalina (ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala), yakni hanya merupakan kebohongan yang mereka tulis, tanpa ada kenyataannya.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua manusia merupakan ahli taklid kecuali oran yang ditunjukkan Allah dengan cahaya keimanan untuk membenarkan keberadaan ba’ats, sebab generasi kemudian mengikuti nenek moyangnya yang terdahulu dalam mendustakan para nabi dan mengingkari ba’ats.

Katakanlah, "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui" (QS. 23 al-Mu`minun: 84)
Qul limanil ardlu waman fiha (katakanlah, "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya) berupa segala jenis makhluk.
In kuntum ta’lamuna (jika kamu mengetahui) sesuatu, maka beri tahukanlah kepadaku.

Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah". Katakanlah, "Maka apakah kamu tidak ingat?" (QS. 23 al-Mu`minun: 85)
Sayaquluna lillahi (mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah"), sebab hidayah akal memaksa mereka untuk mengakui bahwa bumi itu diciptakan Allah.
Qul (katakanlah), saat mereka mengakuinya, guna membungkam mereka.
Afala tadzakkaruna (maka apakah kamu tidak ingat) pernah menjawab demikian? Lalu, mengapa kamu tidak sadar bahwa zat  yang menciptakan bumi beserta isinya untuk pertama kali adalah mampu untuk menciptakannya kembali?

Katakanlah, "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" (QS. 23 al-Mu`minun: 86)
Qul man rabbus samawatis sab’I wa rabbul ‘arsyil ‘azhimi (katakanlah, "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?) Perintah bertanya berjenjang mulai dari  masalah yang kecil hingga yang besar, sebab langit dan ‘rasy itu lebih besar daripada bumi.

Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah". Katakanlah, "Maka apakah kamu tidak bertaqwa?" (QS. 23 al-Mu`minun:87)
Sayaquluna lillahi (mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah"). Jawaban memakai huruf lam, lillahi,  karena melihat makna pertanyaan, sebab pertanyaan man rabbuhu dan liman huwa bermakna sama.
Qul (katakanlah) dengan nada mencela.
Afala tattaquna (maka apakah kamu tidak bertaqwa?), yakni apakah kamu tidak mengetahui hal itu, lalu memelihara diri dari azab-Nya, tetapi kamu justru mengingkari-Nya dan menolak adanya ba’ats?

Katakanlah, "Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya, jika kamu mengetahui?" (QS. 23 al-Mu`minun: 88)
Qul man biyadihi malakutu kulli syai`in (katakanlah, "Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu), yakni kerajaan-Nya secara utuh. Ditafsirkan demikian karena malakut berarti kerajaan yang luas. Huruf ta` untuk menyangatkan. Menurut ar-Raghib, kata malakut dikhususkan bagi kerajaan Allah semata.
Wahuwa yujiru (sedang Dia melindungi), yakni menolong selain-Nya jika Dia berkehendak.
Wala yujaru ‘alaihi (tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya), yakni tidak ada seorang pun yang dapat mencegah orang yang ditolong-Nya.
In kuntum ta’alamuna (jika kamu mengetahui) hal itu, maka sambutlah seruanku.

Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah". Katakanlah, "Maka dari jalan manakah kamu ditipu?" (QS. 23 al-Mu`minun: 89)
Sayaquluna lillahi (mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah"), yakni kepunyaan Allah-lah kepemilikan atas sgala sesuatu; Dia-lah yang menolong dan tiada seorang pun yang dapat menahan pertolongan-Nya.
Qul fa`anna tusharuna (katakanlah, "Maka dari jalan manakah kamu ditipu?") Yakni, bagaimana mungkin kamu dapat ditipu dan dipalingkan dari kebenaran kepada kesesatan, sebab orang yang tidak tersihir atau yang akalnya sehat, tidak akan demikian.

Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (QS. 23 al-Mu`minun: 90)
Bal atainahum bilhaqqi (sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka) berupa ketauhidan dan janji akan adanya ba’ats.
Wa innahum lakadzibuna (dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta) mengenai syirik dan pengingkaran atas ba’ats. Allah menerangkan bahwa mereka tetap bercokol dalam keingkaran dan kecongkakannya setelah berbagai dalih disingkirkan. Maka tiada lagi alasan. Sungguh Allah telah menuntut balas dari mereka, sebab Dia telah memberinya tangguh, tetapi ia disia-siakan.

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada ilah  beserta-Nya, kalau ada ilah beserta-Nya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, (QS. 23 al-Mu`minun: 91)
Mattakhadzallahu min waladin (Allah sekali-kali tidak mempunyai anak) sebagaimana dikatakan oleh kaum Nasrani, sebab tiada seorang pun yang sejenis dan serupa dengan-Nya, sehingga Dia memiliki teman jenis yang kemudian melahirkan keturunan.
Wama kana ma’ahu min ilahin (dan sekali-kali tidak ada ilah  beserta-Nya) yang menyertai-Nya dalam ketuhanan seagaimana dikatakan oleh para penyembah berhala dan selainnya.
Idzan ladzahaba kullu ilahin bima khalaqa (kalau ada ilah beserta-Nya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya). Jika ada tuhan lain di samping Dia, niscaya masing-masing tuhan akan memisahkan diri dengan membawa apa yang telah diciptakannya, membuat kelompok sendiri dengan makhluknya, dan menciptakan kerajaan sendiri yang berbeda dari kerajaan tuhan yang lain.
Wala’ala ba’dluhum ‘ala ba’dlin (dan niscaya sebagian dari ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian yang lain) sebagaimana yang dilakukan oleh para raja dunia. Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada dua tuhan, niscaya terjadi perebutan ilmu dan kekuasaan, sebab jika tuhan yang satu ingin menghidupkan Zaid, misalnya, sedang tuhan yang lain ingin mematikannya, maka terciptalah perlombaan kekuasaan untuk mencegah maksud tuhan yang lain. Jika kehendak tuhan yang satu semakin tinggi, maka dia akan mengalahkan tuhan yang lain dengan kekuasaannya. Hal ini seperti tali yang ditarik oleh dua orang. Jika kekuatannya sama, maka terjadilah tari-menarik yang seimbang. Jika yang satu dapat mengalahkan yang lain, maka tindakan yang lain tidak lagi berpengaruh.
Subhanallahi (Maha Suci Allah), yakni sucikanlah Dia dengan sebenar-benarnya.
‘Amma yashifuna (dari apa yang mereka sifatkan itu) dan dari anak serta sekutu yang mereka sandarkan kepada-Nya.

Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. 23 al-Mu`minun: 92)
‘Alimil ghaibi wasysyahadati (yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak), yakni menetahui alam rahasia dan alam nyata.
Fata’ala ‘amma yusyrikuna (maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan) dengan-Nya yang tidak menetahui kegaiban sedikit pun, karena kesendirian-Nya dalam mengetahui yang gaib dan yang nyata memastikan ketinggian-Nya untuk memiliki sekutu.
Yahya bin Mu’adz berkata: Ketauhidan mengandung cahaya, sedang kemusyrikan mengandung  api. Cahaya ketauhidan membakar aneka keburukan orang yang bertauhid, sebagaimana api syirik membakar aneka kebaikan kaum musyrikin. 

Katakanlah, "Ya Tuhan, jika Engkau sungguh-sungguh hendak memperlihatkan kepadaku azab yang diancamkan kepada mereka, (QS. 23 al-Mu`minun: 93)
Qul rabbi imma turiyanni (katakanlah, "Ya Tuhan, jika Engkau sungguh-sungguh hendak memperlihatkan kepadaku), jika Engkau mesti memperlihatkan kepadaku…
Ma yu’aduna (apa yang diancamkan kepada mereka), yakni azab duniawi yang diancamkan kepada kaum musyrikin.

Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku berada di antara orang-orang yang zalim". (QS. 23 al-Mu`minun: 94)
Rabbi fala taj’alni fil qaumizh zhalimina (ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku berada di antara orang-orang yang zalim), yakni janganlah Engkau menyertakan aku di dalam azab bersama mereka, keluarkanlah aku dari tengah-tengah mereka dalam keadaan selamat.

Dan sesungguhnya Kami benar-benar kuasa untuk memperlihatkan kepadamu apa yang Kami ancamkan kepada mereka. (QS. 23 al-Mu`minun: 95)
Wa`inna ‘ala an nuriyaka ma na’iduhum (dan sesungguhnya Kami benar-benar kuasa untuk memperlihatkan kepadamu apa yang Kami ancamkan kepada mereka) berupa azab. Namun, Kami menangguhkannya karena Kami mengetahui bahwa seagian mereka atau sebagian keturunan mereka akan menjadi orang beriman.

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. (QS. 23 al-Mu`minun: 96)
Idfa’ billati hiya ahsanu (tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik), yakni tolaklah gangguan atau sesuatu yang tidak kamu sukai, yang mereka timpakan kepadamu, dengan cara  yang terbaik, yaitu menahan diri dan memaafkan. Gunakanlah akhlak mulia, kesantunan, dan kasih sayang dalam menghadapi mereka.
Nahnu a’lamu bima yashifuna (Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan) kepadamu seperti tukang sihir, penyair, dan oran gila. Penggalan ini mengancam mereka dengan balasan dan siksa; menghibur Rasulullah saw. dan membimbingnya agar menyerahkan segala persoalan kepada Allah Ta’ala.

Dan katakanlah, "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. (QS. 23 al-Mu`minun: 97)
Waqul rabbi a’udzu bika (dan katakanlah, "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau). Al-‘udz berarti berlindung dan bergantung kepada pihak lain.
Min hamazatis syayathini (dari bisikan-bisikan setan), yakni dari gangguannya yang menyesatkan. Asal makna al-hamzu ialah menghalau. Dorongan setan kepada manusia agar agar melakukan aneka kemaksiatan diserupakan dengan halaulan dan hardikan penggembala kepada binatang supaya bergegas atau meloncat.

Dan aku berlindung  kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku". (QS. 23 al-Mu`minun: 98)
Wa a’udzu bika rabbi ayyahdluruni (dan aku berlindung  kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku) dan merubungku kapan saja, baik saat aku shalat, membaca al-Qur`an, sekarat, maupun kondisi lainnya.
Diriwayatkan bahwa seseorang mengeluh kepada Nabi saw. bahwa dia tidak dapat tidur. Maka Nabi saw. bersabda, “Jika kamu hendak tidur, bacalah doa,
Aku berlindung melalui beberapa kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan, siksa, dan kejahatan hamba-hamba-Nya juga dari gangguan setan serta dari kehadiran mereka (HR. Muslim).
Tujuan dari meminta perlindungan ialah agar waspada terhadap kejahatan setan. Kemudian setan itu menggoda dalam hati manusia. Dia menyesatkan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dan menjerumuskan kaum yang jahat ke dalam bid’ah dan hawa nafsu. Dalam Hadits ditegaskan,
Ada dua golongan penghuni neraka yang belum dapat aku lihat. Kaum yang membawa cambuk sebesar ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia dan wanita yang berpakaian tetapi telanjang, senang jika digoda, suka menggoda laki-laki, dan rambutnya seperti punuk unta. Mereka takkan masuk surga dan takkan mencium wanginya, padahal wangi surga itu tercium dari jarak sejauh perjalanan sekian dan sekian (500 tahun) (HR. Muslim). 

Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku kembalikanlah aku, (QS. 23 al-Mu`minun: 99)
Hatta idza ja`a ahadahumul mautu (hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka), yakni mereka tetap saja lalai, bahkan hingga kematian - sedang ia tak dapat ditolak - menjemput salah seorang di antara kaum kafir dan tampaklah kepadanya berbagai suasana akhirat.
Qala (dia berkata) dengan penuh penyesalan karena tidak beriman dan beramal.
Rabbirji’uni (Ya Tuhanku kembalikanlah aku) ke dunia.

Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan. (QS. 23 al-Mu`minun: 100)
La’alli a’malu shalihan fima taraktu (agar aku berbuat amal yang saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan), yakni supaya aku mengerjakan amal saleh mempersaksikan keesaan-Mu. Ada pula yang menafsirkan fima taraktu dengan apa yang telah aku kerjakan dengan gegabah. Seolah-olah mereka berangan-angan untuk dikembalikan supaya dapat memperbaiki amalnya yang rusak.
Al-Faqir berkata: Yang dimaksud dengan amal saleh ialah amal yang didasarkan atas keimanan, sebab jika seseorang melakukan suatu amal yang lahiriahnya saleh, maka amal itu pada hakikatnya rusak karena terhapus oleh kekafiran. Tatkala orang itu melihat kebatilan amalnya, dia pun berharap agar dikembalikan ke dunia untuk beriman dan beramal saleh, baik penampilannya maupun hakikatnya.
Al-Qurthubi berkata: Permintaan agar dikembalikan tidak hanya dilakukan oleh kaum kafir, juga diminta oleh Kaum Mu`minin yang gegabah dalam beramal.
Kalla (sekali-kali tidak). Ungkapan yang menolak permintaan dikembalikan dan memandangnya mustahil. Makna ayat: sama sekali tidak akan pernah dapat dikembalikan ke dunia.
Innaha (sesungguhnya itu), yakni ucapan Ya Rabbi, kembalikanlah aku …
Kalimatun huwa qa`iluha (adalah perkataan yang diucapkan saja) saat kematian karena dirinya dirundung oleh kesedihan, padahal ucapannya itu takkan dibuktikan.
Wamin wara`ihim (dan di hadapan mereka), yakni di depan orang itu. Pemakaian kata ganti jamak karena melihat maknanya.
Barzakhun (ada dinding) yang menghalangi mereka dan upaya untuk kembali, yaitu alam kubur.
Ila yaumi yub’atsuna (sampai hari mereka dibangkitan) pada hari kiamat. Itulah pemutusan yang total atas harapan untuk dapat dikembalikan ke dunia.

Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab did antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. 23 al-Mu`minun: 101)
Fa`idza nufikha fishshuri (apabila sangkakala ditiup) karena kiamat terjadi, yaitu tiupan kedua di mana terjadi keangkitan dan berkumpul.
Fala ansaba bainahum (maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka) yang memberikan manfaat karena lenyapnya rasa saling mengasihi dan menyayangi, sehingga seseorang melarikan diri dari saudaranya, ibunya, ayahnya, istrinya, dan anak-anaknya.
Yauma`idzin (pada hari itu), sebagaimana yang berlaku di antara mereka saat di dunia.
Wala yatasa`aluna (dan tidak ada pula mereka saling bertanya), yakni sebagian mereka tidak menyapa yang lain, misalnya, “Siapa kamu? Dari suku atau keturunan siapa kamu?” sebab setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri dalam menghadapi kengerian kiamat.
Ayat  ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah, “Maka sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil saling menyapa,” sebab tiadanya saling menyapa terjadi pada permulaan tiupan kedua, yaitu sebelum dilakukan hisab. Adapun saling menyapa terjadi sesudahnya. Di samping itu kiamat merupakan peristiwa yang panjang, yang terdiri atas 50 tempat dan setiap tempah menghabiskan waktu seribu  tahun. Pada setiap tempat mereka dicekap oleh ketakutan dan kengerian sehingga lupa untu bertanya dan menyapa, lalu pada tempat yang lain barulah mereka sadar, kemudian menyapa dan saling mengenal.
Al-Ashmu’i berkata: Aku sedang thawaf di Ka’bah di malam purnama. Tiba-tiba aku mendengar suara yang menyayat. Aku menelusurinya. Ternyata ia berasal dari seorang pemuda tampan yang tengah bergantung pada kain penutup Ka’bah. Dia berkata, “Mata terlelap dan gemintang tenggelam, sedang Engkau adalah Raja Yang Mahahidup.” Mulailah dia bersenandung,
Hai Dzat yang memperkenankan do’a si papa dalam gulita
Hai Penyirna duka, nestapa, dan luka
Pengunjung-Mu ada yang terlelap di seputar al-Bait ada pula yang terjaga
Sedang Engkau, wahai Dzat Yang Mahahidup dan Maha Mengurus,
tetap terjaga.
            Aku memohon kepada-Mu, ya Rabbi, dengan rasa sedih, bingung, dan galau
            Kasihanilah tangisku melalui kemuliaan Baitul Haram
            Jika maaf-Mu tak dapat didambakan oleh si pemilik alpa,
            Siapa lagi yang memberikan karunia kepada si durhaka?
Dia mengulang-ulang bait-bait tersebut hingga jatuh ke tanah dan semaput. Tatkala aku menghampirinya, ternyata dia adalah Zainal Abidil Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Maka kuletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku menangis karena tangisannya. Dia pun sadar dan membuka matanya. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis? Apa arti ratapan itu, padahal engkau adalah keluarga Nabi dan sumber kerasulan? Bukankah Allah berfirman, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai Ahlul Bait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya?”
Maka Zainal Abidin duduk dan berkata, “Hai Ashmu’i, sama sekali bukan demikian. Sesungguhnya Allah menciptakan surga bagi orang yang menaati-Nya, walaupun dia seorang budak Habsyi. Dan Dia menciptakan neraka bagi orang yang mendurhakai-Nya, walaupun dia seorang penguasa Quraisy. Apakah engkau tidak menyimak firman Allah, Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab did antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.

Barangsiapa yang berat timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. (QS. 23 al-Mu`minun: 102)
Faman tsaqulat mawazinuhu (barangsiapa yang berat timbangannya), yakni timbangan amal kebaikannya berupa keyakinan dan ibadah.
Fa`ula`ika humul muflihuna (maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan), yakni yang berhasil meraih segala tujuan dan selamat dari segala hal yang ditakuti.

Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal did dalam neraka Jahannam. (QS. 23 al-Mu`minun: 103)
Waman khaffat mawazinuhu (dan barangsiapa yang ringan timbangannya), yakni dia tidak memiliki keyakinan dan ibadah yang berbobot dan bernilai pada sisi Allah… Orang tersebut adalah kaum kafir sebab Allah berfirman, Maka Kami tidak memasang timbangan bagi mereka pada hari kiamat.
Fa`ula`ikalladzina khasiru anfusahum (maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri), yakni menyia-nyiakan dirinya dengan menyia-nyiakan masa penyempurnaannya dan menghancurkan kesiapannya untuk mencapai kesempurnaan. Al-khusran berarti berkurangnya modal.
Fi jahannama khaliduna (mereka kekal di dalam neraka Jahannam), yakni mereka tinggal di sana untuk selamanya.

Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka did dalam neraka itu dalam keadaan cacat. (QS. 23 al-Mu`minun: 104)
Talfahu wujuhahumun naru (muka mereka dibakar api neraka). Wajah disebutkan secara khusus karena ia merupakan anggota badan yang paling mulia.
Wahum fiha kalihuna (dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat) karena terbakar dengan dahsyat. Al-kaluh berarti mengerutnya kedua bibir dari gigi sperti yang dapat Anda lihat pada kepala yang terbakar. Dalam Hadits ditegaskan,
Api membakarnya sehingga bibir atasnya tertarik hingga sampai ke tengah kepala, sedang bibir bawahnya melorot hingga sampai ke pusat. (HR. Ahmad).
Lalu dikatakan kepada mereka dengan nada mencela dan mengingatkan atas azab yang berhak mereka terima.

            Bukanlah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu sekalian, tetapi kamu selalu mendustakannya? (QS. 23 al-Mu`minun: 105)
Alam takun ayati tutla ‘alaikum (bukanlah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu sekalian) ketika di dunia.
Fauntum biha tukadzdzibuna (tetapi kamu selalu mendustakannya) ketika itu.

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang tersesat. (QS. 23 al-Mu`minun: 106)
Qalu rabbana ghalaat ‘alaina syiqwatuna (mereka berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami), sehingga keadaan kami mengantarkan kepada akibat yang buruk.
Al-Qurthubi berkata: Alangkah baiknya orang yangmenafsirkan ayat itu dengan: Kami dikuasai oleh kelezatan dan hawa nafsu kami. Pada tafsiran itu kelezatan dan hawa nafsu disebut syiqwah, sebab keduanya mengantarkan kepada kecelakaan.
 Wakunna qauman dlallina (dan adalah kami menjadi orang-orang yang tersesat) dari keenaran. Karena itu kami melakukan apa yang telah kami lakukan seperti mendustakan dan melakukan aneka kemaksiatan lainnya.

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya,  maka jika kami kembali,  sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim". (QS. 23 al-Mu`minun: 107)
Rabbana akhrijna minha fa`in ‘udna fa`inna zhalimuna (ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya,  maka jika kami kembali,  sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim"), yakni orang-orang yang melampaui batas dalam beruat zalim terhadap diri kami sendiri.

Allah berfirman, "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku. (QS. 23 al-Mu`minun:108)
Qala (Allah berfirman) dengan nada mengintimidasi.
Ikhsa`u fiha (tinggallah dengan hina di dalamnya), yakni tutuplah mulutmu di dalam neraka seagai oran terhina, sebab nereka bukan tempat untuk bertanya. Mereka dihardik bagaikan anjing. Ikhsa`u berasal dari khasa`tul kalba, jika Anda menghardiknya dengan keras.
Wala tukallimuni (dan janganlah kamu berbicara dengan Aku) untuk meminta dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke dunia, sebab hal itu tidak akan pernah terjadi.

Sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdo'a, "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. (QS. 23 al-Mu`minun:109)
Innahu kana fariqun min ‘ibadi (sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hamba-Ku), yakni dari golongan orang yang beriman.
Yaquluna (berdo'a) ketika di dunia.
Rabbana amanna (ya Tuhan kami, kami telah beriman), yakni membenarkanmu dan segala hal yang datang dari sisi-Mu.
Faghfir lana (maka ampunilah kami), yakni tutupilah dosa-dosa kami.
Warhamna (dan berilah kami rahmat), yakni berilah kamu anugrah dengan keberhasilan meraih surga dan keselamatan dari neraka.
Wa anta khairur rahimina (dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik), karena rahmat-Mu merupakan sumber segala kasih sayang.

Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga  kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka, (QS. 23 al-Mu`minun:110)
Fattakhadztumuhum sikhriyya (lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan), yakni kamu menjadikan mereka sebagai bahan ejekan, misalnya dengan mengatakan, “Diam! Janganlah berdoa”. Karena dahulu kamu senantiasa mengejek orang-orang yang berdoa dan sibuk dengan urusan itu…
Hatta ansaukum (sehingga  menjadikan kamu lupa), yakni kegiatan mengolok-olok mereka membuatmu lupa untuk …
Dzikri (mengingat Aku), yakni kamu lupa untuk mengingat-Ku dan tidak takut kepada-Ku karena kamu sangat sibuk oleh urusan mengejek kaum Muslimin.
Wakuntum minhum tadlhakuna (dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka). Tertawa menggambarkan puncak ejekan.
Muqatil berkata: Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Bilal, ‘Amar, Salman, Shuhaib, dan orang-orang seperti mereka dari kalangan sahabat yang miskin. Adalah kaum kafir Quraisy sperti Abu Jahal, ‘Utbah, Ubay bin Khalaf, dan semacamnya mengolok-olok dan menyakiti mereka karena masuk Islam.

Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka did hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang. (QS. 23 al-Mu`minun: 111)
Inni jazaituhumul yauma bima shabaru (sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka) dalam menghadapi gangguanmu.
Annahum humul fa`izuna (sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang), yakni Aku membalas mereka dengan keberhasilan mereka dalam meraih segala tujuannya.

Allah bertanya, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di  bumi" (QS. 23 al-Mu`minun: 112)
Qala (Allah bertanya) guna mengingatkan lamanya mereka tinggal.
Kam labitstum fil ardli ‘adada sinina (berapa tahunkah lamanya kamu tinggal did bumi). Labitsabil makani  berarti tinggal dan menetap di tempat itu.

Mereka menjawab, "Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung". (QS. 23 al-Mu`minun: 113)
Qalu labitsna yauman au ba’dla yaumin (mereka menjawab, "Kami tinggal sehari atau setengah hari). Mereka memandang masa tinggal di dunia itu sanat singkat dibandingkan dengan keberadaan di neraka.
Fas`alil ‘addina (maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung), yakni tanyakanlah kepada orang-orang yang mengetahui jumlah hari, sebab azab yang tenah kami alami membuat kami lupa dan tak dapat menghitung berapa lama kami tinggal di dunia.

Allah berfirman, "Kamu tidak tinggal melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui". (QS. 23 al-Mu`minun:114)
Qala in labitstum illa qalilan (Allah berfirman, "Kamu tidak tinggal melainkan sebentar saja). Firman ini membenarkan ucapan mereka tentang betapa singkatnya mereka tinggal di dunia.
Lau annakum kuntum ta’lamuna (kalau kamu sesungguhnya mengetahui), niscaya kamu mengetahui betapa singkatnya kamu tinggal di dunia sebagaimana kamu baru mengetahuinya sekarang.
            Penyair bersenandung,
Ketahuilah, dunia itu bagaikan naungan awan
yang menaungimu sesaat kemudian berlalu
Maka jangan terlampau gembira saat ia datang
dan jangan berkeluh-kesah saat ia sirna
            Seorang ‘arifin berkata: Jangan sekali-kali kamu cenderung kepada dunia, sebab ia takkan selamanya menyertai seseorang, dan jangan pula meningalkannya karena akhirat takkan diraih tanpa dunia.

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23 al-Mu`minun: 115)
Afahasibtum annama khalaqnakum ‘abatsan (maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main), yakni apakah karena kamu demikian lalai sehingga kamu mengira bahwa Kami menciptakanmu tanpa hikmah apa pun?
Wa annakum ilaina la turja’una (dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami), yakni dan kamu mengira takkan dikembalikan kepada Kami.
Tirmidzi dan al-Hakim berkata: Allah menciptakan makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya, lalu Dia memberi mereka pahala karena melakukannya dan memberi sanksi karena meninggalkannya. Jika menyembah-Nya, berarti mereka merupakan hamba-hamba yang merdeka, terlepas dari perbudakan dunia, dan menjadi raja di Darussalam. Jika menolak penghambaan, berarti mereka sekarang merupakan hamba yang melarikan diri, jatuh harganya, dan tercela, sedang esok hari  menjadi  musuh yang mendekam dalam penjara di antara lapisan neraka.
Bahlul berkisah: Pada suatu hari aku tengah berjalan-jalan di salah satu jalan wilayah Bashrah. Tiba-tiba aku melihat anak-anak tengah bermain dengan buah pala dan kemiri. Namun, ada seorang anak yang  memperhatikan teman-temannya sambil menangis. Aku mengira dia menangis sedih lantaran tidak memiliki apa yang dimiliki oleh anak lain, sehingga dia dapat bermain. Aku bertanya, “Anakku, kenapa menangis? Akan kubelikan buah kemiri dan pala sehingga kamu dapat bermain dengan anak-anak lain.”
Tiba-tiba dia menarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Hai orang dungu, aku diciptakan bukan untuk bermain-main.”
“Anakku, kalau begitu untuk apa kita diciptakan?” tanya Bahlul.
“Untuk belajar dan beribadah.”
“Dari mana kamu mengetahui hal itu? Semoga Allah memberkatimu.”
Anak itu menjawab, “Dari firman Allah,  Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.
Bahlul berkata, “Aku kira engkau seorang yang bijak. Maka berilah aku nasihat dengan singkat tetapi padat.”
Maka mulailah anak itu bersenandung, 
            Aku lihat dunia bekemas untuk berangkat
            bergegas melangkahkan kaki
            Dunia tak selamanya menyertai yang hidup
            Yang hidup tak selamanya memiliki dunia
            Kematian dan peristiwa dunia
            Seperti kuda balap yang menuju pemuda
            Wahai orang yang terperdaya oleh dunia, berhati-hatilah
            Ambillah tali pengekang diri dari dunia

Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada ilah  selain Dia, Tuhan   'Arsy yang mulia. (QS. 23 al-Mu`minun:116)
Fata’alal lahu (maka Maha Tinggi Allah), yakni Mahatinggi dan Mahasuci zat, sifat, dan aneka perbuatan-Nya dari sangkaan bahwa aneka perbuatan-Nya itu tidak mengandung hikmah dan kemaslahatan.
Al-malikul haqqu (Raja Yang Sebenarnya), Zat yang memiliki hak penuh atas segala kerajaan, baik mengadakan maupun meniadakannya. Sedangkan selain Dia hanyalah budak yang ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan-Nya yang besar.
La ilaha illa huwa (tidak ada ilah  selain Dia), sebab segala perkara selain-Nya merupakan budak-Nya.
Rabbil ‘arsyil karimi (Tuhan   'Arsy yang mulia). ‘Arasy disifati dengan mulia karena ia merupakan sumber pelimpahan karunia al-Haq dan rahmat-Nya. Dari ‘arasy inilah jejak rahmat dan karunia-Nya dibagikan.

Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. (QS. 23 al-Mu`minun: 117)
Waman yad’u ma’allahi ilahan akhara (dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah), baik secara tersendiri maupun kolektif bersama Allah.
La burhana lahu bihi (padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu), tentang menyembah-Nya bersama pihak lain.
Fa`innama hisabuhu ‘inda rabbihi (maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya), yakni Dia-lah yang akan membalasnya sesuai dengan kadar balasan yang berhak dia terima.
Innahu la yuflihul kafiruna (sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung), yakni orang yang kafir takkan lolos dari hisab yang buruk dan azab.

Dan katakanlah, "Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik". (QS. 23 al-Mu`minun: 118)
Waqur rabbighfir warham (dan katakanlah, "Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat). Rasulullah saw. disuruh meminta ampun dan memohon rahmat. Perintah demikian dimaksudkan bahwa meskipun beliau sangat dicintai Allah serta derajat kenabian dan kerasulannya demikian sempurna, beliau tetap memerlukan ampunan dan rahmat-Nya. Jika beliau saja demikian, bagaimana dengan kita?
Wa anta khairur rahimina (dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik"). Penggalan ini mengisyaratkan bahwa apabila Dia mengasihi hamba-Nya, maka Dia takkan pernah memurkainya, sebab rahmat-Nya bersifat azali dan tidak mengenal perubahan.
Diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. dia berkata, “Apabila wahyu turun kepada Rasulullah saw., maka terdengar gemuruh dari sisinya  sperti gemuruh lebah. Kami pun diam sejenak, kemudian beliau menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, berilah kami tambahan dan jangan dikurangi, muliakanlah kami dan jangan dihinakan, berilah kami dan jangan ditolak, prioritaskanlah kami dan janganlah disisihkan, ridhailah kami dan jangan dibenci.”
Kemudian beliau bersabda, “Telah diturunkan kepadaku 10 ayat. Barangsiapa yang melaksanakannya, maka dia masuk surga.” Kemudian beliau membaca Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman …Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (al-Mu`minun: 1-10).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar